Jakarta (ANTARA News) - Perkara hukum yang menjerat pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) non-aktif, Bibit Samad Riyanto dan Chandra Marta Hamzah, terus bergulir.

Pihak yang berperkara, baik KPK maupun polisi, saling mengeluarkan argumentasi pembenaran diri. Namun, alih-alih memihak penegakan hukum, berbagai argumentasi itu justru menimbulkan tanya, siapa dan apa di balik kasus tersebut?

Bibit dan Chandra diduga menyalahgunakan wewenang dalam menerbitkan dan mencabut status cegah (larangan pergi ke luar negeri), khususnya pencegahan terhadap pengusaha Anggoro Widjojo dan pencegahan sekaligus pencabutan cegah terhadap pengusaha Djoko Tjandra.

Tak hanya itu, Mabes Polri juga menuding kedua pimpinan KPK itu menerima suap dan atau memeras pengusaha Anggoro Widjojo yang sedang terjerat kasus korupsi di KPK.

Sejumlah argumentasi yang bertentangan muncul silih berganti. Salah satu di antaranya adalah dokumen tertanggal 15 Juli 2009 yang ditandatangani oleh Anggodo Widjojo dan Ari Muladi. Dokumen sebanyak sepuluh halaman itu menguraikan kronologi dugaan suap kepada sejumlah petinggi KPK.

Pada kesempatan lain, Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri memberikan pernyataan resmi kepada wartawan tentang dugaan suap itu.

Hal yang menarik adalah ada kemiripan antara isi dokumen 15 Juli dan substansi yang disampaikan oleh Kapolri pada 25 September 2009. Meski Kapolri menegaskan dasar pernyataannya adalah laporan polisi yang dibuat oleh mantan Ketua KPK Antasari Azhar, kemiripan dengan dokumen 15 Juli tidak dapat dipungkiri.

Dokumen 15 Juli menguraikan sejumlah tahap penyerahan uang dari Anggodo Widjojo (adik Anggoro Widjojo) kepada Ari Muladi. Seperti tertulis dalam dokumen, Ari Muladi kemudian menyerahkan uang itu kepada sejumlah petinggi KPK.

Penyerahan pertama terjadi pada 11 Agustus 2008 di Karaoke Deluxe Hotel Menara Peninsula. Saat itu, Anggodo memberikan dua kantong berisi uang kepada Ari Muladi. Kantong pertama berisi tiga amplop berisi uang dengan total Rp3,5 miliar dalam bentuk dolar AS, sedangkan kantong kedua berisi Rp250 juta. Sehingga total pemberian pada tahap pertama itu sebanyak Rp3,75 miliar.

Dokumen 15 Juli kemudian mengurai penyerahan tahap kedua yang terjadi pada 13 November 2008. Anggodo disebut menyerahkan uang milik Anggoro sebesar Rp400 juta kepada Ari Muladi di Karaoke Deluxe Hotel Menara Peninsula.

Sedangkan penyerahan tahap ketiga adalah pada 13 Februari 2009 ketika Anggodo menyerahkan Rp1 miliar dalam bentuk dolar Singapura kepada Ari Muladi. Uang itu kemudian diserahkan kepada Chandra M. Hamzah pada 27 Februari 2009 di pasar seni jalan Rasuna Said yang dikenal dengan Pasar Festival.

Hal itu sama persis dengan pernyataan Kapolri. Dalam keterangan resminya, Kapolri menjelaskan, penyerahan uang terjadi dalam tiga tahap. Anggodo menyerahkan sejumlah uang itu kepada Ari Muladi untuk kemudian diserahkan kepada petinggi KPK.

"Di sini diakui bahwa Anggodo telah menyerahkan uang sebanyak Rp5,15 miliar kepada Ary Muladi yang diberikan tiga tahap. Pertama, di Hotel Peninsula 11 Agustus 2008 Rp3,75 miliar, 13 November 2008 Rp400 juta, 13 Februari 2009 Rp1 miliar," kata Kapolri.

Bahkan, Kapolri juga menegaskan, uang Rp1 miliar diserahkan kepada Chandra M. Hamzah di Pasar Festival. "Pada saat itu diserahkan di parkir Pasar Festival," katanya.

Janggal

Kapolri memberi pernyataan resmi itu pada 25 September 2005, atau sekitar dua bulan setelah dokumen 15 Juli ditandatangani oleh Ari Muladi dan Anggodo Widjojo.

Menurut Kapolri, pengusutan kasus itu didasarkan pada keterangan sejumlah saksi, yaitu Antasari Azhar, Anggoro Widjojo, Anggodo, Edy Sumarsono, Ary Muladi dan Putranevo. Dua diantara sejumlah saksi itu, Anggodo dan Ari Muladi, adalah penulis dokumen 15 Juli.

Hal yang mencengangkan adalah, Kapolri tetap menggunakan keterangan para saksi itu, meski Ari Muladi secara tegas telah mencabut keterangannya sebelum Kapolri memberi pernyataan.

Jika Ari Muladi sudah mencabut keterangan, maka keterangan Anggodo tidak dapat digunakan untuk menyatakan telah terjadi penyerahan uang kepada pimpinan KPK. Hal itu disebabkan Anggodo hanya menyerahkan uang kepada Ari Muladi, dan Ari membantah menyerahkannya kepada pejabat KPK.

Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tertanggal 26 Agustus 2009, Ari Muladi menyatakan tidak pernah berkoordinasi dengan petinggi KPK, terutama Deputi Penindakan KPK Ade Rahadja, untuk mengurus kasus dan menyerahkan uang.

Ari justru mengaku surat pencabutan pencegahan terhadap Anggoro dibuat oleh seorang bernama Yulianto. Padahal dalam pernyataanya, Kapolri menjelaskan, penyuapan terhadap petinggi KPK terkait dengan pencegahan Anggoro.

Ari Muladi membeberkan bahwa surat pencabutan cegah terhadap pengusaha Anggoro Widjojo dibuat oleh seorang bernama Yulianto di kawasan Matraman, Jakarta Timur. Pengakuan Ari Muladi itu membantah dugaan bahwa surat pencabutan cegah itu dibuat dan ditandatangani oleh pimpinan KPK.

"Pada tanggal 8 Juni 2009 sekitar pukul 22.00 WIB, saya (Ari Muladi) dengan Yulianto pergi ke toko di daerah Matraman yang kemarin kami datangi, tujuan kami ke Matraman adalah untuk membuat surat pencabutan cekal," ungkap Ari Muladi dalam BAP.

Ari Muladi tidak menyebutkan siapa yang akhirnya menandatangani surat itu. Dia hanya menjelaskan, pada pertemuan berikutnya, Yulianto menemuinya dan membawa surat pencabutan cegah yang sudah ditandatangani.

"Surat itulah yang saya serahkan kepada Anggodo, saya katakan bahwa surat tersebut saya dapatkan dari Ade Rahardja (Deputi Penindakan KPK). Padahal, surat itu saya dapatkan dari Yulianto dan saya tidak pernah bertemu dengan Ade Rahardja, yang artinya saya berbohong kepada Anggodo," kata Ari Muladi seperti tertulis dalam BAP.

Dalam BAP tersebut, Ari Muladi berkali-kali mengaku tidak pernah menemui Ade Rahadja dan pimpinan KPK. Namun, kepada Anggodo, Ari mengaku kenal dan sudah berkoordinasi dengan Ade Rahadja.

"Tujuan saya mengatakan bahwa saya telah berkomunikasi dan berkoordinasi dengan Ade Rahadja dalam rangka penyelesaian kasus PT Masaro adalah Anggoro percaya kepada saya dan selanjutnya Anggodo menyerahkan uang kepada saya," kata Ari dalam BAP yang bertuliskan "Badan Reserse Kriminal Polri Direktorat III/Pidana Korupsi & WCC".

Rekayasa

Tim pengacara pimpinan KPK non-aktif, Bibit Samad Riyanto dan Chandra Marta Hamzah, mengatakan, akan mengungkap dugaan rekayasa dalam tuduhan dugaan penyalahgunaan wewenang dan suap terhadap pimpinan KPK.

Anggota tim pengacara, Bambang Widjojanto ketika ditemui di gedung KPK mengatakan, tim pengacara sudah mengantongi sejumlah bukti kuat tentang dugaan rekayasa yang mengakibatkan pimpinan KPK menjadi tersangka.

"Data ini mungkin akan bisa membuat penilaian terhadap seluruh kasus ini akan berubah," kata Bambang tanpa mau membeberkan bentuk dan isi data yang dimaksud.

Bambang menjelaskan, data itu akan berguna bagi publik untuk mendapatkan gambaran lain dari kasus yang sedang bergulir.

Menurut Bambang, data tim pengacara itu kemungkinan bisa mengungkap segala sesuatu di balik tuduhan suap dan penyalahgunaan wewenang terhadap pimpinan KPK.

Pada kesempatan itu, Bambang juga menyinggung tentang kesaksian tertulis yang ditandatangani oleh seorang bernama Ary Muladi dan Anggodo Widjojo.

Keterangan tertulis tertanggal 15 Juli 2009 itu merupakan kronologi dugaan suap kepada jajaran petinggi KPK.

Menurut Bambang, data yang dimiliki tim pengacara kemungkinan juga bisa mengungkap cerita dibalik munculnya dokumen tertulis tersebut.

"Saya kasih clue, data kami ini akan menjelaskan itu semua," katanya menegaskan.

Hal yang sama juga dikatakan Achmad Rifai. Anggota tim pengacara itu menyatakan, data tersebut bisa mengungkap wajah penegakan hukum di Indonesia yang sebenarnya. Namun, Bambang dan Achmad Rifai menolak membeberkan jenis dan isi data yang mereka maksud.

Sejumlah sumber informasi menyebutkan, salah satu data itu adalah rekaman pembicaraan antara sejumlah orang. Inti dari rekaman itu adalah siasat untuk merekayasa seolah-olah pimpinan KPK telah menerima suap dan atau melakukan pemerasan.

Rekaman itu, menurut sejumlah sumber informasi, berisi pembicaraan antara beberapa laki-laki dan perempuan dalam beberapa kesempatan berbeda.

Beberapa nama yang mirip nama sejumlah petinggi lembaga penegak hukum disebut dalam rekaman pembicaraan tersebut. Beberapa nama itu antara lain berinisial W, R, I, dan S. Namun, sumber informasi menyebutkan, orang yang paling aktif berperan dalam skenario itu adalah A.

Rekaman pembicaraan yang terjadi sejak Juli 2009 sampai Agustus 2009 itu membahas sejumlah rencana, antara lain penyusunan skenario dan penyusunan kronologi yang akan digunakan sebagai dasar pemeriksaan terhadap sejumlah orang.

Setelah semua argumentasi dan informasi diketahui publik, kini muncul tanda tanya besar yang menyelimuti kasus yang menjerat pimpinan KPK. Apa dan siapa di balik itu semua? (*)

Oleh Oleh F.x. Lilik Dwi Mardjianto
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009