Solo (ANTARA News) - Pementasan teater bertajuk "Cupak Tanah" dalam Mimbar Teater Indonesia di Taman Budaya Jawa Tengah, Kota Solo, Jawa Tengah, Senin malam, menyindir penguasa yang menindas rakyatnya.

Teater yang dibawakan oleh sembilan seniman dari Teater Kampung Seni Banyuning, Singaraja, Bali, menyajikan adegan-adegan tentang ketamakan dari Raja Cupak, penguasa Kerajaan Gerobak Besi, yang serakah dan selalu merebut tanah rakyatnya.

Pementasan dibuka dengan adegan Raja Cupak yang diperankan oleh Nengah Wijana, tidur dan tujuh anak buah yang disimbolkan sebagai rakyat tidak berani membangunkannya.

Rakyat yang dalam kisah tersebut ditunjukkan sebagai sosok-sosok yang takut dan lemah berusaha membangunkan rajanya yang tertidur dengan berbagai cara, termasuk dengan membacakan kisah kepahlawanan Raja Cupak, menyanyikan lagu-lagu yang mengagungkan Cupak, dan menjilati kaki raja mereka.

Raja Cupak di setiap adegan teater tersebut digambarkan sebagai sosok yang selalu lapar, dia sangat gemar memakan tanah dan selalu tidak pernah puas hingga banyak orang yang rela menjual tanahnya untuk dimakan Cupak.

"Cerita Cupak yang kami sajikan merupakan pengembangan dari kisah rakyat Bali, Cupak Gerantang yang dalam cerita aslinya Cupak hanya rakus makan nasi," kata sutradara teater "Cupak Tanah", Putu Satria Kusuma.

Namun, lanjutnya, dalam pementasan ini kami menggambarkan Cupak yang rakus makan tanah sebagai penggambaran tentang banyaknya kasus perampokan tanah milik rakyat.

"Kami melihat kasus seperti itu banyak terjadi di Bali, tempat asal kami. Banyak pencaplokan tanah rakyat untuk berbagai kepentingan yang tidak berpihak pada rakyat," kata dia.

Tidak hanya di Bali, di wilayah Indonesia lainnya juga terjadi permasalahan yang sama.

Dalam salah satu adegan lainnya, Cupak mengatakan tanah yang paling enak adalah tanah Kalimantan dan Papua yang memiliki banyak potensi yang bisa dia manfaatkan secara pribadi.

"Hal tersebut juga menunjukkan kasus penyerobotan tanah rakyat oleh pihak tertentu sudah menjadi permsalahan yang mengkhawatirkan masyarakat kita," kata Putu.

Dalam kondisi saat ini kepentingan industri menjadi dominan di sejumlah daerah, kata dia, disindir melalui pementasan teater tersebut, "Hal tersebut menyebabkan pergeseran nilai dan budaya di sejumlah daerah,".

"Celakanya masyarakat Indonesia belum siap dengan hal tersebut. Kondisi tersebut juga dihadapkan dengan cara-cara pengambilan tanah yang sering dilakukan dengan pemaksaan dan penipuan," kata dia.

Cupak Tanah, menurutnya, adalah simbol perlawanan dan kebosanan rakyat terhadap kondisi yang merugikan mereka, "Kami menuangkan perasaan tersebut melalui teater,".

"Karya ini dipentaskan pertama kali pada 2002 dalam festival kesenian yang mengambil cerita Cupak dan Gerantang di Art Centre, Kota Denpasar, Bali," kata dia.

Selain itu, lanjut Putu Satria Kusuma, "Cupak Tanah" juga pernah dipentaskan di ISI Yogyakarta, Bentara Budaya Jakarta dan Gedung Kesenian Jakarta.

Mimbar Teater Indonesia diselenggarakan di Taman Budaya Jawa Tengah, Kota Solo, Jawa Tengah, hingga Jumat (30/10) dan menampilkan delapan kelompok teater dari sejumlah kota di Indonesia.(*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009