Hyena (dubuk), pemerkosa, penculik --tak ada bahaya yang lebih kecil dari semua itu-- menjadi ancaman buat kaum perempuan di kamp pengungsi suram di Somalia utara.

Namun itu masih lebih baik dibandingkan dengan kengerian yang mereka tinggalkan: perang saudara di Mogadishu, kemarau di negara tetangga Somalia --Ethiopia, perang antar-suku dan apa yang mereka katakan sebagai pembunuhan dan penghukuman suku yang ditaja negara.

Banyak perempuan kehilangan suami mereka. Sebagian pria meninggalkan keluarga mereka, yang lain berusaha menyeberangi Teluk Aden ke Yaman dan sejak itu tak menunjukkan tanda kehidupan.

Sebagian masih menjadi bagian keluarga tapi berjuang mencari nafkah dengan menggembala ternak.

Gurun di ujung Galkayo, tanah tandus luas yang dipenuhi semak pendek berduri tempat jutaan tas plastik bergantung, menjadi tempat beberapa kamp.

Di satu kamp yang bernama Mustaqbal, yang diterjemahkan jadi "masa depan", Halima, seorang janda yang berusia 35 tahun, mengenang dari balik cadar bagaimana ia melarikan diri dari pemboman di ibukota Somalia, Mogadishu, 700 kilometer ke arah selatan, bersama lima anaknya.

"Kami adalah pencari nafkah buat keluarga kami. Kami tak mempunyai suami dan penghasilan harian kami tak cukup untuk bertahan hidup," kata Halima, sambil menggerak-gerakkan tangannya.

Halima memiliki apa yang dikenal orang warga lokal sebagai "toko pikul" --ia memikul barang dagangan, dalam hal ini pakaian-- dari pintu ke pintu.

Gubuk di tempat tersebut terdiri atas batang pohon akasia yang ditekuk jadi berbentuk kubah dan ditutupi dengan kain koyak serta jerami. Satu gubuk khusus buat satu keluarga berukuran antara dua dan empat meter persegi.

Tanpa kaum pria, semua perempuan itu terus-menerua menghadapi resiko serangan. Mereka harus membayar penjaga malam.

"Kurang sepekan berlalu ketika kami tak menghadapi kasus perkosaan," kata Hawa Adan Mohamed, pegiat hak asasi perempuan yang mengelola tempat pelatihan ketrampilan dan proyek manufaktur di Galkayo, sebagaimana dilaporkan kantor berita AFP.

"Jika anda pergi ke polisi, tak ada tindak-lanjut. Mereka mengatakan akibat masalah suku, mereka tak dapat menyentuh pelakunya," katanya.

"Di sini orang yang paling kuat mengambil semuanya," kata seorang pejabat PBB.

Di jalan tak jauh dari kamp Bulo Baaley, baunya tak terperikan. Setelah Matahari terbenam, orang dewasa dan anak-anak membuang hajat besar di dalam bejana plastik yang berada di luar gubuk.

Banyak pondok di sana lebih besar tapi pemilik tanah mengutip sewa sebesar tiga dolar.

"Jika anda tak bayar, ia mengambil satu anak. Ia menahan anak itu sampai menerima bayaran," kata Kasman Katal, ibu tiga anak yang kelihatan lebih tua dari usia 20 tahun.

"Suami saya pergi ke Yaman. Kami tak menerima berita mengenai dia sejak itu. Kami tidak tahu apakah ia masih hidup," katanya, sambil menepuk lalat yang menggerumuti wajah bayinya.

Katal dan tetangganya, Marianne Abdi, gadis cantik yang berusia 15 tahun dan sudah bercerai dengan satu anak, memperoleh uang dengan cara memindahkan sampah dari rumah di Galkayo dan membuangnya di ujung kota kecil tersebut.

Kamp Tawakal, tempat tinggal sebanyak 1.700 keluarga, memiliki satu sekolah dan beberapa kakus. Namun kamp itu berada lebih jauh dari permukiman resmi sehingga untuk sampai ke sana diperlukan upaya yang lebih keras. Tetapi orang tak perlu membayar sewa dan sekolah gratis.

"Galkayo dipenuhi oleh orang yang kehilangan tempat tinggal akibat konflik dari Somalia tengah dan selatan dan juga orang yang menjadi korban kemarau," kata Talil Musa Mohamed, pemimpin tradisional dari Galkayo Selatan.

Menurut pekerja kemanusiaan, secara keseluruh terdapat 220.000 pengungsi Galkayo Selatan dan Utara.

Somalia adalah salah satu krisis terburuk di dunia sementara para pemimpin Afrika mengadakan pertemuan puncak darurat di Kampala guna membahas masalah orang yang kehilangan tempat tinggal dan pengungsi, demikian dikutip dari AFP.(*)

Oleh
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009