Jakarta (ANTARA News) - Badai yang menerpa Kejaksaan Agung (Kejagung) ternyata belum berlalu. Munculnya transkrip rekaman rekayasa penetapan tersangka pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menambah panjang daftar masalah di lembaga pilar hukum itu.

Transkrip rekaman yang sudah bergulir ke publik luas melalui media cetak dan media elektronik itu, menyebut-nyebut oknum di lembaga penuntut umum itu melakukan rekayasa penetapan pejabat KPK, Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah.

Tindakan tersebut dinilai sejumlah kalangan merupakan upaya sistematis yang dilakukan Kejagung untuk melemahkan gelora pemberantasan korupsi.

Jaksa Agung, Hendarman Supandji, tentu gerah dengan sengkarut yang menerpa Kejagung. Ia lantas memanggil Wakil Jaksa Agung (Waja), Abdul Hakim Ritonga, untuk mengklarifikasi kebenaran pemberitaan publik itu.

Jaksa agung sangat galau dengan maraknya pemberitaan yang kembali menyudutkan lembaga yang dipimpinnya itu, pascakasus Jaksa Urip Tri Gunawan, yang menerima suap dari Arthalyta Suryani alias Ayin sebesar 660 ribu dolar AS.

Dalam kasus suap itu, Hendarman Supandji mencopot Kemas Yahya Rahman sebagai Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Untung Udji Santoso, Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) dan M Salim, Direktur Penyidikan (Dirdik) pada Jampidsus.

Abdul Hakim Ritonga pun mulai angkat bicara membantah informasi itu, dengan mengundang wartawan untuk menggelar jumpa pers pada Selasa (28/10).

Demikian pula halnya dengan mantan Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel), Wisnu Subroto, yang memberikan bantahan melalui pemberitaan di media cetak dan media elektronik.

Kepada wartawan, Jaksa Agung, Hendarman Supandji, mengakui sudah memanggil Waja, Abdul Hakim Ritonga.

"Saya baru klarifikasi ke Pak Waja," katanya, di Jakarta, Senin (27/10).

Jaksa Agung menyatakan pertemuan dengan Waja itu, masih klarifikasi saja. "Masak klarifikasi saya kasih tahu," katanya.

Kendati demikian, dirinya mempertanyakan adanya bukti rekaman rekayasa penetapan tersangka dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah.

"Sekarang masalah itu benar atau tidak, sumbernya dari mana. Saya tanya dulu buktinya mana itu," katanya.

Hendarman mengaku dirinya sampai sekarang belum pernah mendengar atau belum pernah menyaksikan rekaman. "Itu kan masih kabar-kabar di surat kabar," katanya.

Karena itu, kata dia, dirinya mempertanyakan kebenaran rekaman tersebut, kepada Wakil Jaksa Agung (Waja), Abdul Hakim Ritonga.

"Apakah benar itu (rekaman) saya tanya juga ke Pak Ritonga, apakah benar ada rekayasa itu. Kalau saya lihat ini kan masih dalam sistem," katanya.


Mengaku dipanggil

Sementara itu, Waja, Abdul Hakim Ritonga, mengaku telah dipanggil oleh Jaksa Agung Hendarman Supandji untuk mengklarifikasi mengenai pemberitaan yang menyangkut namanya itu.

"Saya tidak melakukan rekayasa, saya hanya melaksanakan prosedur penyelesaian perkara," katanya mengutip saat dirinya menjawab pertanyaan Jaksa Agung, Hendarman Supandji.

Ia menyebutkan, saat dipanggil ia menjelaskan pula adanya perkara KPK yang sedang disidik.

"Kemudian, pada suatu malam, kami diperintahkan untuk menerima pemerasan dan penyalahgunaan aparat KPK yang penyidiknya dilakukan oleh Mabes Polri. Saat itu saya sebagai Jampidum (Jaksa Agung Muda Pidana Umum)," katanya.

Ia menambahkan selanjutnya ada gelar perkara atau ekspos kasus tersebut, dengan dihadiri Kabareskrim Mabes Polri.

"Dalam paparan ekspos yang disajikan, perbuatan yang disangkakan adalah penyalahgunaan wewenang, penipuan dan sebagainya," katanya.

Saat itu, ia menjelaskan dirinya tengah menangani kasus dugaan pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran (PRB), Nasruddin Zulkarnaen, dengan tersangka pimpinan KPK, Antasari Azhar.

"Kemudian saya tolak ekspos (soal penetapan tersangka pimpinan KPK) karena tidak ada kaitannya dengan Jampidum," katanya.

Ia menambahkan jaksa agung muda tindak pidana khusus (Jampidsus) menyatakan bahwa pasal yang disangkakan kepada dua pimpinan KPK, yakni, Pasal 12E UU Tindak Pidana Korupsi dan waktu itu saksi utamanya adalah Ari Muladi, orang yang langsung melakukan penyerahan uang.

"Kemudian saksi utama lainnya, Anggodo Widjoyo, Edi Sumarsono dan Testimoni Antasari Azhar," katanya.

"Dan kami berkesimpulan bahwa kasus ini memenuhi syarat lalu dilakukan penyidikan dan dikonsultasikan dengan Jampidsus. Kasus itu ditangani Jampidsus," katanya.

Mantan Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) Kejaksaan Agung (Kejagung), Wisnu Subroto, menegaskan, ia tidak terlibat dalam rekayasa penetapan tersangka pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Ini harus dilihat "tempus"-nya (waktu kejadian)," katanya.

Wisnu Subroto mempertanyakan bagaimana ia dinyatakan terlibat dalam rekayasa, karena saat kejadian pada Juli 2009 waktunya masih jauh dari penetapan tersangka pimpinan KPK.

"Penetapan pimpinan KPK sebagai tersangka terjadi sebelum Lebaran," katanya.

Disebutkan, pada Juli 2009 itu, Anggodo Widjoyo memberitahukan adanya pemerasan yang dilakukan oleh Ari Muladi kepada kakaknya, Anggoro Widjoyo.

"Hingga saya serahkan kepada Jampidum (Jaksa Agung Muda Pidana Umum)," katanya.

Dikatakan, isu yang mengarahkan kepada dirinya dalam rekayasa kasus tersebut.

"Tidak proporsional tuduhan kepada saya, karena harus lihat tempusnya dulu," katanya.

Ia menduga isu rekaman rekayasa penetapan tersangka pimpinan KPK, merupakan "grand design" untuk menjatuhkan namanya. "Sangat betul, itu grand design," katanya.

Kendati demikian, ia enggan menyebutkan maksud utama dari "grand design" tersebut dan siapa orang dibalik yang ingin menjatuhkan namanya tersebut.

Sementara itu, dari informasi sumber di Kejagung, menyebutkan dihembuskannya isu tersebut terkait dengan pencalonan calon jaksa agung yang baru.

Badai sampai memang belum berlalu di Kejagung, dan saat ini petinggi di Kejagung harus menyikapi beredarnya informasi yang sudah tersebar luas di publik.

Petinggi Kejagung harus bekerja lebih sungguh-sungguh dalam menangani perkara ini, agar wajah bopeng Kejaksaan dalam penanganan perkara korupsi dapat diparbaiki dan badai segera berlalu dari lembaga itu.(*)

Oleh Oleh Riza Fahriza
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009