Denpasar (ANTARA News) - Kriminolog dari Universitas Indonesia Adrianus Meliala setuju jika pemerintah akan membuat badan nasional antiterorisme guna menyinergikan penanganan terorisme di Indonesia.

"Ini kemajuan besar. Namun semuanya masih dalam reservasi yang nantinya akan dibuat seperti komite atau divisi lebih pada level pencegahan. Selama ini konsep strategi masih amburadul," ungkap Meliala saat ditemui ANTARA di Denpasar, Sabtu dalam "workshop" Cegah Terorisme Pariwisata di Bali.

Menurut dia, badan ini lebih berfungsi sebagai analis intelijen khusus penanganan teror. Di dalamnya juga dilibatkan fungsi analis, intelijen, dan penempur, bukan hanya dari detasemen khusus, tetapi juga ada satuan militer yang bersifat khas.

"Ibaratnya kalau di TNI AU kita punya Paskhas, di TNI AL ada Marinir, dan TNI AD kita punya Kopassus. Sehingga diharapkan pergerakannya lebih harmonis," harapnya.

Menurut dia, penggabungan dari beberapa unit juga bisa dilibatkan, seperti unit pendukung bidang biologi, kimia, database, dan forensik.

"Kalau selama ini mereka bergerak sendiri-sendiri, dengan adanya badan ini dapat bersinergi," ungkap dia.

Peran Densus 88, katanya, tidak harus dikecilkan, tapi mereka bagian dari kelompok penempur. Tidak mengurangi porsi mereka, melainkan bersama TNI melakukan penggempuran sesuai dengan keahliannya.

Selama ini, diakui Meliala, bahwa sebagian besar peran penanganan teror ini dimainkan Densus 88 Polri. Jika badan antiteror ini terbentuk, maka diusulkan ada tiga divisi yaitu penggempur, intelijen, dan pendukung, serta kalau boleh ditambahkan, perlu divisi deradikalisasi.

Meskipun demikian, katanya, semuanya masih dalam tahap pembahasan dan tidak terburu-buru untuk segera membentuk badan ini.

"Kalau hal ini dikejar terus maka dikhawatirkan akan ada konsekuensi politis. Selain perhitungan biaya juga harus dipikirkan. Setelah konsepnya matang, baru nanti kita desak lagi sejauh mana perkembangannya," urai dia.

Menurut dia, sikap setuju yang dikemukakan untuk membentuk badan ini lebih pada pertimbangan karena selama ini penanganan terorisme bekerja serabutan dan tanpa konsep.

Bahkan banyak pekerjaan dibebankan kepada Densus 88, mulai dari pendeteksian, penyelidikan, sampai pada penyergapan. "Sampai pelakunya tertangkap pun, Densus juga yang harus mengurusi keluarganya. Nanti tugas mengawinkan keluarga teroris, urusan Densus juga lagi," katanya berseloroh.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009