Padang (ANTARA News) - Bantuan kemanusiaan pascagempa 30 September 2009 dari sejumlah negara asing ke Sumatra Barat (Sumbar) selama masa tanggap darurat tak perlu dipolemikkan, tetapi harus disikapi secara arif.

"Kalau ada bantuan dengan iming-iming yang berkaitan dengan akidah masyarakat, tentu harus diwaspadai sehingga tak merusak tatanan kehidupan beragama di Sumbar," kata Kepala Bidang Penyuluhan dan Komunikasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sumbar, H. Adi Bermasa kepada ANTARA di Padang, Sabtu.

Menurut dia, berbagai macam bantuan dari sejumlah negara tersebut, cukup membantu penanggulangan masa tanggap darurat bencana gempa yang melanda Sumbar baru-baru ini.

Bantuan yang berdatangan tak mesti dilihat dari mana negara donornya, tetapi tinggal bagaimana kearifan saat menerima dan pendistribusian ke tengah masyarakat.

Tujuan lebih cermat terhadap penyaluran dan penerimaan bantuan asing itu, supaya tak bertentangan dengan tatanan sosial atau kearifan lokal saat penyalurannya ke masyarakat.

"Justru itu, peran Kepala Korong (setingkat kepala Rukun Warga/RW) di daerah yang terkena bencana gempa di Sumbar harus lebih jeli dan memberikan pelayanan terhadap pemberi bantuan," katanya.

Selain itu, ninik mamak (tokoh adat) harus ikut berperan mengontrol pendistribusian bantuan, baik yang langsung maupun sudah terkoordinir melalui posko.

"Jadi, adanya pemurtadan akidah yang berkedok penyaluran bantuan itu tak terlepas karena lemahnya dalam pengawasan mulai pemerintah, pemuka adat, dan agama setempat," katanya.

Ia menilai pemuka adat atau tokoh agama Islam jangan hanya berkoar-koar saat permasalahan muncul, tapi mereka perlu menurunkan relawan ke tengah-tengah masyarakat untuk mengontrol.

Menurut dia, dari manapun bantuan yang datang ke kabupaten/kota di Sumbar harus dihargai karena pertolongan kemanusiaan bukan berkaitan dengan akidah.

Jadi, kurang tepat bila dipandang bantuan kemanusiaan yang disalurkan suatu negara tertentu dicap sebagai ada kepentingan dibaliknya.

"Kita harus bisa memilah bantuan yang disaluran dari asing, artinya kalau ada tindakan ingin merusak akidah masyarakat Minang memang salah," kata wartawan senior itu.

Ia mengatakan hal itu bukan berarti bantuan yang diberikannya dinilai sebagai upaya merusak tatanan kehidupan beragama di tengah masyarakat.

"Jika, polemik mengenai bantuan asing, terutama dari Israel, dikaitan dengan keyakinan agama tertentu, tentu bisa membuat pemberian bantuan atau donatur asing tersinggung atau kecewa," katanya.

Ia mengingatkan masa rekonstruksi dan rehabilitasi akan banyak mengundang Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dari dalam dan luar negeri untuk melaksanakan program pertolongan.

Justru itu, masyarakat harus memandang secara positif, program yang akan dilakukan di berbagai bidang nantinya, tapi harus tetap dicermati supaya tak melenceng dari aturan dan kearifan lokal yang ada.

"Kita tak mengharapkan adanya pihak-pihak atau oknum masyarakat yang menghalangi donatur dalam melaksanakan program rehabilitasi dan rekonstruksi di daerah yang terkena bencana," katanya.

Terkait sebagian donatur ada yang ingin menyalurkan bantuan pada tahap rekontruksi dan rehabilitasi secara langsung, misalnya membangun sekolah permanen.

"Masyarakat harus mendukung dan jangan sampai ada yang mempersulit karena tak melibatkan masyarakat, baik dalam pengerjaan atau pengadaan materialnya," katanya.

Ia menambahkan kepedulian donatur dalam dan luar negeri sangat tinggi terhadap bencana gempa Sumbar, buktinya Lembaga Sosial Suara Merdeka Semarang ingin membangun dua sekolah permanen di Padang dan Padang Pariaman senilai Rp3,2 miliar.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009