Jakarta (ANTARA News) - Perseteruan antara dua lembaga pilar hukum Indonesia yakni Polri dan KPK bisa berdampak negatif pada iklim investasi di Indonesia. Karena jika tidak segera dituntaskan masalah ini dapat menghambat pertumbuhan dan aliran investasi ke Indonesia.

"Perseteruan dan polemik kasus KPK-Polri mungkin tidak berdampak kepada iklim investasi dalam jangka pendek, namun lebih kepada prospek investasi jangka panjang. Jika hal ini tidak segera dituntaskan maka pertumbuhan investasi Indonesia bisa terhambat,"kata pengamat manajemen dari Universitas Indonesia, Taufik Bahaudin dalam suatu diskusi di Jakarta Selasa.

Menurutnya secara umum investasi itu akan nyaman jika ditunjang oleh kepastian hukum serta stabilitas politik dan keamanan. Jika stabilitas politik dan kemananan bersih dan berwibawa maka hal tersebut akan meningkatkan iklim investasi," ujarnya.

Meski begitu dia optimis hal itu dapat segera dituntaskan sehingga tidak berdampak luas pada terhambatnya investasi yang masuk ke Indonesia. Peluang kerjasama ekonomi Indonesia dan negara-negara lain masih terbuka lebar asalkan ditopang oleh kepastian hukum dan birokrasi yang bersih,"tambahnya.

Taufik mengatakan yang menjadi kendala utama masuknya investasi dari Uni Eropa dalah masalah birokrasi. Dalam birokrasi di Indonesia sebenarnya sudah cukup baik.

"Namun yang tidak baik adalah orangnya sehingga perlu suatu tranformasi, jangan yang di obok-obok sistemnya, tetapi mindset transformasinya yang harus dibenarkan,"katanya.

Sementara itu di tempat yang sama Pakar Manajemen Investasi Universitas Indonesia (UI) Avanti Fontana mengatakan, faktor institusi publik menjadi bahan pertimbangan dalam pemeringkatan tujuan investasi.

"Itu erat dengan kasus saat ini dimana KPK dan Polri merupakan institusi penegak hukum yang sedang dihadapkan kepada beberapa kasus penting," katanya.

Menurutnya institusi publik ternyata sangat berpengaruh kepada tingkat kedayasaingan global. "Ini kondisi yang perlu dibenahi di Indonesia dan tidak heran saat ini Indonesia di peringkat 71 dari 134 negara," katanya.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009