Jakarta (ANTARA News) - Kampanye antikorupsi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agaknya tengah memasuki episode kritis seperti dilewati komisi-komisi antikorupsi serupa di banyak negara.

Sebagian sukses melewati priode itu sehingga komisi antikorupsi tumbuh kredibel, seperti Lithuania dan Bulgaria. Tapi, lebih banyak yang sulit berkembang seperti Nigeria, Kenya dan Bangladesh.

Di Nigeria, Olusegun Obasanjo memakainya untuk membunuh karakter lawan politiknya. Di Kenya, parlemen yang berkolusi dengan komunitas bisnis menjegal perkuatan komisi antikorupsi, dengan menanggalkan kewenangan investigasi padanya.

Langkah Kenya itu mirip dengan ajuan RUU Tipikor yang ditengarai Indonesia Corruption Watch sebagai upaya membatasi kewenangan KPK.

Sementara di Bangladesh, seperti banyak negara yang tergantung pada bantuan asing, komisi antikorupsi lebih untuk memoles wajah ekonomi nasional agar terlihat seksi bagi donor internasional.

Di negara-negara itu, kampanye antikorupsi dihambat segelintir kaum berpunya nan berkuasa yang terancam oleh kerja komisi antikorupsi.

Segelintir pihak itu, mengutip John R. Heilbrun dari World Bank Institute, diuntungkan oleh sistem pengelolaan ekonomi yang korup dan kolutif. Heilburn menamakannya dengan "kapitalisme perkoncoan."

"Para pembuat kebijakan memperoleh insentif jika berhasil melemahkan reformasi hukum dan menyingkirkan ancaman terhadap konstituennya yang amat berkuasa dan diuntungkan oleh birokrasi mandul, akses mudah ke proyek-proyek pemerintah, dan kerja sektor publik yang tidak efisien," kata Heilburn.

Stephen Haber dalam Crony Capitalism and Economic Growth in Latin America: Theory and Practice menambahkan, "Otoritas politik yang bekerja pada sistem kapitalisme perkoncoan --kepada mana segelintir orang mengerumuni sumbu kekuasaan-- menerima keuntungan ekonomi yang luar biasa besar dibandingkan dari yang bisa diberikan pasar normal."

Pada sistem demikian, lembaga antikorupsi dibuat hanya untuk membedaki wajah ekonomi demi mendapatkan akses dan rekomendasi pembiayaan internasional.

"Padahal, komisi antikorupsi yang hanya berupaya memuaskan negara donor dan semata untuk menenangkan desakan reformasi dari dalam negeri, umurnya akan pendek," kata Heilburn.

Karena tidak lahir dari kesepakatan atau konsensus nasional, maka tatkala kerja komisi antikorupsi kian efektif, birokrasi dan sistem penyelenggaran ekonomi yang kolutif, seketika melawannya.

Landasan-landasan hukum bagi komisi antikorupsi pun dipreteli lagi. Alasannya, takut menjadi lembaga super. Tentu saja itu menyenangkan para koruptor, karena mereka menjadi lebih leluasa mengerjakan praktik-praktik busuknya.

Konsensus


Keadaan serupa itu tak terjadi di negara-negara yang komisi antikorupsinya didirikan di atas konsensus nasional, seperti Lithuania, Estonia, dan Bulgaria.

Di sana, masyarakat dan elite kompak memperkuat komisi antikorupsi. Semua sadar bahwa komisi antikorupsi adalah kebutuhan pokok bagi penciptaan sistem kekuasaan yang bertanggungjawab dan bersih.

Titik tolak itu pula yang mendasari lahirnya sistem antikorupsi kredibel seperti Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) di Singapura, Independent Commission Against Corruption (ICAC) di Hongkong, ICAC New South Wales di Australia, dan Office of Government Ethics (OGE) di Amerika Serikat.

Keempatnya menjadi model ideal bagi pembentukan komisi-komisi antikorupsi di seluruh dunia.

Meski model kewenangannya berbeda-beda, tetapi spirit dasarnya sama, yaitu memerangi korupsi dan menciptakan sistem penyelenggaraan negara yang bersih. Semuanya dilahirkan dari lingkungan dimana pejabat publik, birokrasi, dan penegak hukum dikendalikan kaum berduit yang korup.

Dari kerjanya, CPIB Singapura berorientasi investigasi, sementara ICAC Hongkong diembani tiga fungsi, yaitu investigasi, pencegahan dan sosialisasi.

Lalu, ICAC New South Wales lahir dari kesadaran parlemen mengenai perlunya lembaga khusus antikorupsi untuk memerangi kejahatan narkotika yang telah mencemari sistem birokrasi dan penegakkan hukum dengan aksi suap gila-gilaannya.

OGE lain lagi. Sistem ini tak dilimpahi wewenang investigasi dan hanya bertugas memberi haluan kepada pejabat publik mengenai etika berkebijakan dan batasan-batasan mengenai benturan kepentingan.

Sifat kerja OGE lebih preventif, yaitu meningkatkan pemahaman hukum pada sistem birokrasi. AS memakai model ini karena memiliki sistem penegakan hukum yang independen, efektif dan profesional.

KPK

Banyak negara yang mengadopsi empat model itu, namun sedikit yang berhasil. Bukan hanya karena landasan kesepakatan nasionalnya rendah, namun juga karena reformasi hukum hanya dituntutkan ke komisi antikorupsi, bukan kepada keseluruhan sistem.

Komisi antikorupsi kerap tak bergigi karena tak independen dari eksekutif, tak mendapat dukungan anggaran yang cukup dari parlemen untuk investigasi suap, dan tak mempunyai prosedur pelimpahan kasus ke peradilan.

Namun, pada KPK, semangat dan prinsip ideal kerja antikorupsi tampak lebih teraplikasikan, dibandingkan dengan misalnya Nigeria, Bangladesh, atau negara berkembang lainnya.

KPK menunjukkan kerja yang independen dengan tidak menjebakkan diri dalam permainan kekuasaan. Siapapun, dari bupati sampai gubernur, dari pejabat tinggi penegakkan hukum sampai anggota DPR dan kerabat kepala negara, diciduknya.

Kerja hukum seperti itu justru membuat bagian terbesar rakyat jatuh cinta pada KPK karena prinsip "semua warga negara sama di depan hukum" dan "hukum tidak pandang bulu," lebih hidup di KPK.

Rakyat melihat praktik hukum tak lagi melulu merujuk tafsir formal ketentuan-ketentuan tekstual yang acap kaku dan kadang manipulatif, tapi juga mengabdi pada pemenuhan rasa keadilan masyarakat.

Tentu, sejumlah kalangan tak menyukai kerja KPK. Mereka mungkin melakukan apa saja untuk menjegalnya, termasuk membajak sistem penegakan hukum dan sistem legislasi demi mempreteli kewenangan KPK, seperti parlemen Kenya melakukannya kepada Kenya Anti-Corruption Commission (KACC).

Parlemen memang akan menjadi pintu ke arah mana reformasi hukum bergulir, sehingga masyarakat perlu mengawasinya. Singapura, Hongkong, Australia, dan AS menyadari hal ini.

Mereka faham, pihak-pihak yang dirugikan komisi antikorupsi akan menggunakan pintu hukum untuk mengusik kampanye antikorupsi.

Tak heran keempat negara tak henti menyempurnakan landasan hukum bagi kerja sistem antikorupsi untuk mempersempit kemungkinan penyalahgunaan wewenang dan perbenturan kewenangan. Tetapi itu ditempuh tanpa membunuh semangat memerangi korupsi.

Upaya mereka dibarengi oleh sosialisasi intensif kepada masyarakat mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan korupsi. OGE misalnya, terus menegaskan batasan konflik kepentingan yang wajib dijauhi pejabat publik dan memberi skala sanksi bagi pelanggarnya.

Mungkin Indonesia tidak di level itu, tapi beberapa perkuatan dalam kampanye antikorupsi telah dicapai, setidaknya cara pandang masyarakat mengenai kejahatan korupsi bertambah maju dan kritis.

Itu ditambah pers independen yang antusias mengantarkan tumbuhnya masyarakat madani. Inilah yang tak dimiliki negara-negara yang gagal menegakkan komisi antikorupsi.

Tentu saja, segelintir orang yang diuntungkan oleh sistem kolutif, tidak menyukai keadaan itu.

Mungkin mereka akan terus melawan, tapi mereka mesti tahu bahwa zaman tak lagi memihak mereka. Mereka tak hanya akan melawan rakyat, tapi juga dunia yang sudah memaklumatkan perang terhadap korupsi.

"Korupsi menghancurkan kita semua, oleh karena itu memeranginya adalah tanggungjawab kita bersama." kata Antonio Maria Costa, Direktur Eksekutif UNODC, lembaga PBB untuk antikejahatan. (*)

Oleh Jafar M. Sidik
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009