Jakarta (ANTARA News) - Tim Delapan dalam laporan atas kasus hukum Chandra Hamzah dan Bibit samad Rianto menyimpulkan telah terjadi benturan kepentingan antara atasan dengan kalangan penyidik serta penuntut umum.

Dalam laporan yang disampaikan Tim Delapan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Selasa, Tim Delapan menyimpulkan profesionalisme penyidik kepolisian dan penuntut umum dari Kejaksaan Agung sangat lemah karena sangkaan atau dakwaan kepada Chandra dan Bibit tidak didukung fakta dan bukti yang kuat.

"Fenomena mengikuti apa yang diinginkan oleh atasan di kalangan penyidik dan penuntut umum masih kuat, sehingga penyidik dan penuntut umum tidak bebas mengembangkan temuannya secara obyektif dan adil, sehingga terkesan adanya rekayasa. Munculnya instruksi dari atasan tersebut, tidak terlepas dari adanya benturan kepentingan pada atasan yang bersangkutan," demikian tertulis dalam kesimpulan laporan tim delapan kepada Presiden.

Tim Delapan menilai, pada awalnya proses pemeriksaan terhadap Chanda dan Bibit adalah wajar berdasarkan alasan adanya testimoni Antasari Azhar yang diikuti laporannya kepada penyidik kepolisian, rekaman pembicaraan Antasari Azhar dengan Anggoro Widjojo di Singapura yang tersimpan dalam laptop miliki Antasari.

Selain itu , keterangan Anggodo Widjojo pada 7 Juli 2009 kepada kepolisian, keterangan Anggoro pada 10 Juli 2009 di Singapura, serta keterangan Ary Muladi.

Dalam perkembangannya polisi ternyata tidak menemukan adanya bukti penyuapan atau pemerasan. Namun,  polisi memaksakan dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Chandra dan Bibit dengan menggunakan surat pencegahan keluar negeri terhadap Anggoro dan surat pencegahan dan pencabutan cegah keluar negeri terhadap Djoko Tjandra.

Secara keseluruhan, tim delapan menilai bukti-bukti yang diajukan penyidik dalam kasus Chandra dan Bibit masih lemah.

Dalam rekomendasinya kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono , maka Tim Delapan meminta proses hukum terhadap Chandra dan Bibit sebaiknya dihentikan demi memenuhi rasa keadilan yang berkembang di masyarakat.

Apabila perkara tersebut masih di tangan kepolisian, Tim Delapan meminta agar kepolsian menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

Apabila perkara tersebut sudah dilimpahkan ke Kejaksaan, maka Kejaksaan Agung diminta untuk menerbitkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP).

Jika kejaksaan berpendapat bahwa demi kepentingan umum perkara tersebut perlu dihentikan maka berdasarkan azas opportunitas Jaksa Agung dapat mendeponir perkara itu.

Tim Delapan juga merekomendasikan kepada Presiden Yudhoyono untuk menjatuhkan sanksi kepada pejabat-pejabat yang bertanggung jawab dalam proses hukum terhadap Chandra dan Bibit yang dipaksakan itu sekaligus melakukan reformasi institusional pada tubuh lembaga kepolisian dan kejaksaan.

Tim Delapan juga meminta agar reformasi institusional dan reposisi personel pada lembaga kepolisian, kejaksaan, KPK, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dilanjutkan dengan tetap menghormati indepedensi lembaga-lembaga tersebut, utamanya KPK.

Untuk mereformasi lembaga-lembaga penegak hukum tersebut, menurut Tim Delapan, Presiden dapat menginstruksikan dilakukannya audit pemerintahan oleh suatu lembaga independen yang bersifat diagnostik guna mengidentifikasi persoalan dan kelemahan mendasar di tubuh lembaga tersebut.

Tim Delapan juga merekomendasikan agar Presiden membentuk komisi negara yang akan membuat program menyeluruh dengan arah dan tahapan yang jelas untuk membenahi koordinasi lembaga hukum.

Presiden juga diminta oleh tim untuk memprioritaskan operasi pemberantasan makelar kasus di dalam semua lembaga penegak hukum termasuk di lembaga peradilan dan profesi advokat sebagai terapi kejut, dimulai dari pengusutan tuntas terhadap Anggodo Widjojo, Ary Muladi, serta oknum penegak hukum terkait. (*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009