Kopenhagen (ANTARA News) - Indonesia menginginkan adanya suatu keputusan yang mengikat (legally binding) bagi semua negara untuk menangani perubahan iklim sebagai hasil KTT ke-15 Perubahan Iklim (COP) di Kopenhagen, Denmark.

Juru bicara Delegasi RI (Delri), Tri Tharyat di sela-sela konferensi di Kopenhagen, Denmark, Rabu, mengatakan apapun nama keputusan tersebut, harus mencakup target penurunan emisi karbon dari negara-negara industri (Annex-1).

"Harus ada kesepakatan yang mengikat terhadap target penurunan emisi karbon global yaitu dengan menyebut angka, sehingga ada satu indikasi pencapaian," kata Tri yang didampingi Ketua Delri, Rachmat Witoelar.

Oleh karena itu, Indonesia menegaskan kembali bahwa negara-negara Annex-1 Protokol Kyoto tersebut harus memimpin usaha penurunan emisi karbon secara global.

"Konsekuensinya mereka harus melakukan pemotongan emisi karbon yang lebih ambisius," kata Tri.

Sementara negara-negara berkembang juga akan mengurangi emisi karbon sesuai dengan rencana aksi nasional masing-masing negara dengan didukung oleh negara-negara maju dari sisi pendanaan, transfer teknologi dan peningkatan kapasitas.

Indonesia mengusulkan agar dua jalur perundingan yang dilakukan yaitu melalui Pokja Ad-hoc untuk Kerjasama Jangka Panjang (AWG-LCA) dan Pokja Ad-hoc Protokol Kyoto (AWG-KP) bisa dilakukan bersama-sama dan terus dilanjutkan tanpa penundaan waktu pasca COP ke-15 di Kopenhagen.

AWG-LCA (Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention) merupakan perundingan dari negara-negara peserta Konvensi Badan Dunia untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) yang membahas kerjasama jangka panjang untuk menangani perubahan iklim.

Sedangkan AWG-KP (Ad Hoc Working Group on Further Commitments for Annex I Parties under the Kyoto Protocol) merupakan perundingan dari negara-negara UNFCCC yang meratifikasi Protokol Kyoto.

Amerika merupakan negara emiter emisi karbon terbesar di dunia yang tidak meratifikasi Protokol Kyoto sehingga hanya mengikuti AWG-LCA tanpa mengikuti AWG-KP.

Untuk AWG-LCA, Indonesia mengharapkan adanya hasil perundingan berupa instrumen baru untuk menangani perubahan iklim.

"Sedangkan pada perundingan di AWG-KP, harus menghasilkan kesepakatan mengenai target penurunan emisi karbon dari negara Annex-1 ," katanya.

Tri melanjutkan harus ada komitmen tahap kedua yang dimulai 1 Januari 2013, dengan target penurunan emisi karbon yang lebih ambisius dibanding tahap pertama Protokol Kyoto.

Tri mengatakan belum ada kesepakatan mengenai periode waktu pelaksanaan tahap kedua Protokol Kyoto oleh negara-negara industri.

"Periode waktu tidak penting, yang penting harus ada target penurunan emisi karbon yang ambisius dari negara maju," katanya.

Negara berkembang menuntut target penurunan emisi yang lebih ambisius, karena akumulasi target dari negara-negara maju tidak cukup signifikan merujuk pada target IPCC sebesar 25 - 40 persen pada 2020.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009