Singapura (ANTARA) - Otoritas di Singapura mulai mengawasi banyaknya angka bunuh diri dan percobaan bunuh diri yang ditemukan pada kalangan pekerja migran setelah banyak pihak cemas karena mereka yang berpenghasilan rendah, terpaksa terkurung dalam asrama selama pandemi COVID-19.

Singapura pada April 2020 menutup sejumlah akses dan membatasi aktivitas warga di sejumlah kompleks asrama yang banyak dihuni oleh pekerja migran asal Asia Selatan. Tujuannya, pemerintah ingin menekan penyebaran COVID-19 di kalangan para pekerja.

Empat bulan setelahnya, karantina masih berlaku di beberapa asrama. Sejumlah pekerja migran yang telah terbukti negatif COVID-19 juga masih dibatasi aktivitasnya oleh otoritas setempat. Nasib mereka semakin tidak pasti, padahal keluarga di negara asal bergantung dari kiriman uang para pekerja itu.

Kelompok pegiat hak asasi manusia mengatakan kebijakan itu berdampak parah pada kualitas hidup pekerja migran. Aktivis menyebut sejumlah kasus para pekerja migran ditahan karena dituduh melanggar Undang-Undang Kesehatan Mental.

Sebelum ditangkap aparat, mereka terekam dalam sebuah video yang viral melompat-lompat di atas atap dan tepi jendela yang tinggi.

Dalam tayangan yang banyak disiarkan media setempat, Minggu, seorang pekerja migran berusia 36 tahun terlihat berdarah di bawah tangga asramanya setelah melukai dirinya sendiri.

Kementerian Ketenagakerjaan Singapura pada Rabu (5/8) mengatakan pihaknya mengawasi aksi bunuh diri dan percobaan bunuh diri yang dilakukan para pekerja migran di asrama dalam beberapa waktu terakhir. Kementerian akan bekerja sama dengan para mitra untuk membuat program yang mendukung kesehatan mental para pekerja migran.

Kementerian mengatakan belum ada kenaikan jumlah bunuh diri pada kalangan pekerja apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Insiden itu seringkali berakar dari persoalan keluarga yang diperparah dengan larangan pulang akibat pembatasan perjalanan selama pandemi, kata pihak kementerian.

Singapura mengumumkan 54.000 warga tertular COVID-19 dan banyak pasien positif ditemukan dalam asrama. Sekitar 300.000 pekerja dari Bangladesh, India, dan China menempati kompleks asrama pekerja tersebut.

Sejauh ini, hanya 27 orang yang meninggal akibat COVID-19 di Singapura.

Otoritas setempat mengatakan mereka berencana mencabut karantina di seluruh asrama pada minggu ini, kecuali beberapa blok karena masih jadi zona karantina para pekerja.

Namun, para aktivis mengatakan para pekerja depresi karena khawatir karena takut dipecat sementara mereka banyak terbelit utang. Tidak hanya itu, para pemberi kerja juga kerap membatasi aktivitas para pekerja migran untuk beraktivitas di luar asrama, meskipun mereka telah dinyatakan negatif COVID-19.

"Saat ini banyak pekerja yang mengatakan rasa cemas itu jadi masalah yang lebih serius dari virus," kata ketua Transient Workers Count Too, Deborah Fordyce. Transient merupakan organisasi yang mengadvokasi hak pekerja migran.

Sementara itu, ketua Samaritans of Singapore, Gasper Tan, mengatakan terbatasanya akses pekerja migran untuk membantu keluarga dan teman-temannya selama pandemi menyebabkan mereka memiliki "pikiran negatif berlebihan".

"Mereka merasa terkurung, tidak dapat mengontrol atau mengubah keadaan mereka, dan (mereka, red) mungkin beranggapan bunuh diri jadi satu-satunya pilihan yang tersedia untuk bebas dari penderitaan dan rasa sakit," kata Tan.

Sumber: Reuters
Baca juga: Singapura bergegas bangun perumahan pekerja migran setelah wabah
​​​​​​​Baca juga: Kemlu: Praktik penjualan pekerja migran usik nilai kemanusiaan
Baca juga: Jenazah TKI Bunuh Diri Tiba di Grobogan

Penerjemah: Genta Tenri Mawangi
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2020