Kopenhagen (ANTARA News) - Berbagai LSM melihat masih banyak kelemahan dalam dua draf keputusan KTT ke-15 Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark yang resmi dikeluarkan oleh UNFCCC.

Tiga LSM yaitu Oxfam Internasional, WWF dan CSF Indonesia di Kopenhagen, Sabtu melihat dua draf tersebut tidak secara jelas mencantumkan masalah pembiayaan dan kewajiban penurunan emisi dari negara maju (Annex-1 Protokol Kyoto).

Oxfam Internasional melihat dua draf keputusan tersebut tidak memasukkan pembiayaan jangka panjang untuk membantu negara-negara berkembang mengatasi perubahan iklim.

Pada draf keputusan AWG-KP tidak disebutkan tentang Amerika Serikat dan pada draf keputusan AWG-LCA tidak mencerminkan hasil perundingan resmi selama dua tahun.

Kecuali para perunding bisa mengakomodir semua hal selama dua hari mendatang sebelum diputuskan oleh para menteri dan kepala negara yang mulai datang besok.

"Ada kelemahan besar pada proposal ini pada paket pembiayaan jangka panjang yang dibutuhkan. Pembiayaan skala besar, dan pembiayaan berkala untuk negara-negara berkembang adalah kunci perekat dari kesuksesan kesepakatan," kata Oxfam Internationals Senior Climate Advisor, Antonio Hill.

Antonio mengatakan dana pembiayaan iklim menjadi hal yang krusial untuk dirundingkan karena menjadi kebutuhan negara-negara miskin untuk bisa bertindak menangani perubahan iklim dan hal itu membutuhkan aksi nyata dari negara-negara kaya.

"Jutaan orang di seluruh dunia telah menderita karena banjir dan kekeringan, maka kita butuh kesepakatan hukum baru, jangan lagi perundingan dan penundaan," katanya.

Ketua Inisiatif Iklim Global WWF, Kim Carstensen mengatakan draf keputusan yang telah dikeluarkan UNFCCC bisa menjadi dasar keputusan politik yang benar.

Meski banyak mengandung banyak kelemahan draf tersebut secara jelas menunjukkan kemungkinan adanya sebuah kesepakatan.

"Lubang yang terlihat pada draf sekarang bisa terlihat dan bisa diisi dengan kemauan politik dan komitmen nyata pembiayaan. Kami masih tidak tahu berapa banyak uang yang bisa disediakan dan dari mana asalnya," kata Kim.

Dia menambahkan KTT ke-15 hanya bisa menghasilkan keputusan apabila para perunding bersikap adil, terbuka dan transparan.

Forum Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Iklim (CSF) melihat dua draf keputusan tersebut belum mencakup tentang ruang untuk hidup dan keselamatan umat manusia secara global.

"Target penurunan emisi juga belum disebutkan, bahkan kewajiban itu cenderung dilarikan oleh negara maju ke negara berkembang," kata Anggota CSF, M. Teguh Surya yang juga Kepala Departemen Advokasi dan Jaringan Eksekutif Nasional WALHI.

Teguh mengatakan KTT ke-15 Kopenhagen ini harus menghasilkan keputusan yang mengikat semua negara, bukan hanya keputusan politik.

Dua draft
Konvensi Badan Dunia untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) sebagai penyelenggara KTT ke-15 Perubahan Iklim secara resmi merilis dua draf keputusan di bawah AWG-LCA dan AWG-KP.

AWG-LCA (Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention) atau Pokja Ad-hoc untuk Kerja sama Jangka Panjang merupakan perundingan dari negara-negara peserta Konvensi Badan Dunia untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) yang membahas kerja sama jangka panjang untuk menangani perubahan iklim.

Sedangkan AWG-KP (Ad Hoc Working Group on Further Commitments for Annex I Parties under the Kyoto Protocol) merupakan perundingan dari negara-negara UNFCCC yang meratifikasi Protokol Kyoto.

Anggota Delegasi RI (Delri), Agus Purnomo mengatakan dengan dikeluarkannya tiga draf naskah keputusan persidangan, maka perundingan sudah lebih jauh lebih maju dibandingkan kemarin yang memanas karena perbedaan pendapat dari negara-negara peserta.

"Dengan dikeluarkannya draf keputusan artinya perundingan saat ini sudah masuk pada tahap negosiasi," katanya.

Bila perundingan lancar, maka hasil pembahasan akan dibawa ke sidang pleno AWG-LCA dan AWG-KP untuk nantinya bisa disahkan pada pertemuan tingkat menteri mulai Selasa mendatang (15/12).(*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009