Khartoum (ANTARA News/Reuters) - Dua anggota pasukan penjaga perdamaian dibebaskan oleh penculik di Darfur, Sudan, Minggu, setelah penahanan lebih dari 100 hari, kata sejumlah pejabat.

Orang-orang bersenjata menculik pria Nigeria dan wanita Zimbabwe anggota Misi Penjaga Perdamaian PBB/Uni Afrika di Darfur (UNAMID) di kota Zalingei, Darfur barat, pada Agustus dalam salah satu gelombang baru penculikan di kawasan itu.

"Mereka telah dibebaskan... Ini akhir dari pengalaman panjang mengerikan," kata Noureddine Mezni, jurubicara pasukan penjaga perdamaian UNAMID. "Mereka berada dalam keadaan baik. Kami senang menerima mereka lagi."

Sekretaris Jendral PBB Ban Ki-moon mengambil langkah yang tidak biasa dengan menelefon Presiden Sudan Omar Hassan al-Beshir bulan ini untuk memintanya meningkatkan upaya-upaya membebaskan kedua anggota pasukan penjaga perdamaian itu.

Beberapa pejabat PBB mengatakan, pria Nigeria itu adalah seorang aparat keamanan UNAMID, sementara wanita Zimbabwe itu bagian dari tim perlindungan anak pasukan tersebut.

Tidak jelas apa yang dituntut penculik sebagai imbalan atas pembebasan sandera-sandera itu.

Seorang jurubicara Kementerian Luar Negeri Sudan, Moawia Osman Khalid, mengatakan kepada Reuters, negosiasi dengan penculik dilakukan melalui sesepuh-sesepuh lokal.

"Tidak ada uang tebusan yang dibayar," katanya.

Sebelumnya ada laporan-laporan kedua orang itu sakit selama penyanderaan, namun para pejabat UNAMID mengatakan bahwa mungkin penculik merekayasa laporan itu untuk meningatkan tekanan-tekanan.

Orang-orang bersenjata menculik sedikitnya 14 warga asing di Darfur dan di daerah seberang perbatasan, Chad dan Republik Afrika Tengah, sejak Maret.

Badan-badan bantuan menghadapi permusuhan yang meningkat di Darfur sejak Pengadilan Kejahatan Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Presiden Sudan Omar Hassan al-Beshir atas tuduhan melakukan kejahatan perang pada Maret.

Tidak satu pun dari mereka yang bertanggung jawab atas penculikan sebagian besar staf internasional sejak Maret telah ditangkap.

Ketegangan meningkat di Sudan setelah ICC pada 4 Maret memerintahkan penangkapan terhadap Beshir karena kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan di Darfur, Sudan barat.

Perundingan antara pemerintah Khartoum dan pemberontak Darfur untuk mengatasi ketegangan itu ditunda lagi pertengahan November.

Perundingan yang dituanrumahahi Qatar itu sebelumnya dijadwalkan berlangsung pada 28 Oktober namun penengah PBB Djibril Bassole mengatakan pada saat itu bahwa pertemuan tersebut ditunda sampai 16 November karena waktunya bertepatan dengan pertemuan puncak Uni Afrika. Jadwal terakhir itu pun ditunda hingga waktu yang belum ditentukan.

Pada Februari, kelompok pemberontak utama Darfur, Gerakan Keadilan dan Persamaan Hak (JEM), menandatangani sebuah perjanjian perdamaian dengan pemerintah Khartoum mengenai langkah-langkah pembangunan kepercayaan yang bertujuan mencapai perjanjian perdamaian resmi.

Pada Mei, JEM sepakat memulai lagi perundingan dengan Khartoum yang dihentikannya setelah pengadilan internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi presiden Sudan.

Jurubicara ICC Laurence Blairon mengatakan kepada wartawan di pengadilan yang berlokasi di Den Haag, surat perintah penangkapan terhadap Beshir itu berisikan tujuh tuduhan -- lima kejahatan atas kemanusiaan dan dua kejahatan perang.

Sudan bereaksi dengan mengusir 13 organisasi bantuan dengan mengatakan, mereka telah membantu pengadilan internasional di Den Haag itu, namun tuduhan tersebut dibantah oleh kelompok-kelompok bantuan itu.

Sejumlah pejabat PBB yang tidak bersedia disebutkan namanya mengatakan, pengusiran badan-badan bantuan itu akan memiliki dampak yang sangat merugikan bagi rakyat Darfur.

Para ahli internasional mengatakan, pertempuran hampir enam tahun di Darfur telah menewaskan 200.000 orang dan lebih dari 2,7 juta orang terusir dari tempat tinggal mereka. Khartoum mengatakan, hanya 10.000 orang tewas.

PBB mengatakan, lebih dari 300.000 orang tewas sejak konflik meletus di wilayah Darfur, pada 2003, ketika pemberontak etnik minoritas mengangkat senjata melawan pemerintah yang didominasi orang Arab untuk menuntut pembagian lebih besar atas sumber-sumber daya dan kekuasaan.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009