Jakarta (ANTARA News) - Penguasaan negara atas sektor minyak dan gas bumi (migas) dianggap gagal karena Undang-undang (UU) Migas Nomor 22 Tahun 2001 yang ada selama ini lebih berpihak pada kepentingan asing.

"Dulu kesepakatannya pihak asing diundang sementara, jika sudah pintar ya kita kelola sendiri," kata pengamat migas Effendi Siradjudin, dalam seminar "Energy Outlook: Quo Vadis Perpanjangan Production Sharing Contract" yang diselenggarakan Perum LKBN ANTARA, Jakarta, Selasa.

Ia menegaskan bahwa UU Migas sekarang tidak banyak memberikan keuntungan secara nasional, cenderung melunturkan kemandirian dan justru sulit melawan cengkeraman asing yang merugikan rakyat banyak.

Jalan satu-satunya, menurut dia, adalah dengan mencabut UU Migas sekarang dan mengembalikan substansi Perpu Nomor 44 Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, dan UU Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara.

"Pemerintah harus merubah BP Migas menjadi BUMN Migas baru, dan menjadikan Pertamina bersama BUMN Migas baru tersebut sebagai kuasa pemerintah kembali," tegas Effendi.

Dengan begitu, menurut dia, profit, nilai saham, reputasi, kapital nasional, pembangunan nasional akan lebih berkelanjutan, dan peredaran barang dan jasa tanah air juga akan semakin kuat.

"Kalau operator minyaknya dipegang asing, mereka pasti akan mencari perusahaan barang dan jasa asing juga kan. Jadi percuma," lanjut Effendi.

Saat ini, ia menegaskan bahwa 85 persen produksi minyak dalam negeri dikuasai asing, sehingga 50 persen hasil produksi dilarikan keluar negeri. Untuk itu pemerintah perlu secara tegas memberikan pengelola blok-blok yang sudah akan habis kontraknya kepada perusahaan nasional.

Sementara itu, menurut mantan anggota DPD, Marwan Batubara, PT Pertamina (Persero) harus mampu mengelola migas di tanah air jika BUMN migas tersebut kembali ditugaskan menjadi "flag carrier" perusahaan migas nasional.

"Pertamina tidak bisa bilang tidak siap, dia (Pertamina) harus siap. Potensi Indonesia di sektor migas ini masih sangat besar dan itu harus dioptimalkan untuk kepentingan rakyat," ujar dia.

Dengan demikian, lanjut Marwan, hal utama yang diperlukan saat ini adalah keberpihakan pemerintah terhadap perusahaan migas nasional.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009