Jakarta (ANTARA News) - Raut wajah Dadan Rahadian (43), Kepala Desa Kemang, Kecamatan Bojongpicung, Cianjur, Jawa Barat, tampak sumringah dan tersenyum lebar saat ditanya kondisi perekonomian warganya.

Dalam enam bulan terakhir aktivitas ekonomi di desanya mulai menggeliat, tercermin dari rata-rata tingkat pendapatan per kapita mendekati Rp1 juta per bulan, angka yang cukup besar untuk desa kategori terpencil.

Desa Kemang berada pada ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut yang dikelilingi lima perbukitan.

Untuk mencapai desa ini, butuh waktu sekitar satu jam menggunakan mobil melalui jalan sempit dari ibu kecamatan Bojongpicung, atau dapat ditempuh sekitar lima jam jika berjalan kaki.

Jumlah penduduk Kemang mencapai 4.573 jiwa, dengan mata pencaharian utama bertani yang menghasilkan komoditas daun pisang, gula aren, dan sedikit padi.

Asep (35), seorang penghasil daun pisang mengaku pendapatannya sekarang bisa mencapai Rp60 ribu hingga Rp80 ribu per hari, melonjak lebih dua kali lipat dari sebelumnya berkisar Rp30.000 per hari.

Jika sebelumnya, bapak dari tiga anak ini memperoleh hasil penjualannya satu kali dalam sepekan, kini saban hari ia dapat mengantongi uang sesaat setelah memasok hasil ladangnya kepada pengumpul daun pisang.

"Dulu penjualan daun dibayar sekali seminggu. Sekarang lancar, setiap mengantarkan daun ke bandar, ya... langsung dapat uang," kata Asep.

Ada penjual ada pembeli. Bapak Kiki (46), "juragan" daun pisang di wilayah Kemang, menuturkan setiap hari bisa mengumpulkan hingga dua ton dari sekitar 50 orang petani, untuk dijual kembali ke Jakarta, Bandung, maupun ke pasar Cianjur dan Cisarua.

Usaha jual beli daun pisang yang sudah dilakoninya sejak 10 tahun lalu, belakangan makin marak terutama sejak operator seluler XL hadir di desanya.

Pengiriman daun pisang dilakukan tiap hari, dan selalu terjual habis karena ada kepastian pesanan dari pembeli. Berbeda ketika jaringan telepon belum masuk ke daerah ini, bisnis daun sering rugi.

"Sekarang lebih praktis, cukup melalui telepon seluler pesanan daun kami antar. Dulu kami selalu berspekulasi mengirim daun dalam jumlah besar tetapi sering tidak laku, dan terbuang percuma karena sudah layu," kata Kiki, sambil menyusun ikatan daun pisang segar ke dalam sebuah truk miliknya untuk dikirim ke Jakarta.

Total penjualan daun pisang dari seluruh Desa Kemang sebelum infrastruktur seluler menembus daerah ini hanya berkisar 6 ton per hari, kini dengan kemudahan komunikasi antara petani dan calon pembeli, penjualan bisa mencapai 10 ton per hari.

PT Excelomindo Pratama Tbk (XL) resmi merambah Desa Kemang pada Juni 2009. Sejak itu pula aktivitas keseharian warga desa yang dihuni 1.412 kepala keluarga itu makin berkembang.

Ketika jaringan seluler masih nihil di wilayah itu, warga yang akan menguhubungi keluarga dan sanak famili di luar Kemang harus mengeluarkan biaya hingga Rp20 ribu untuk ongkos angkutan menuju warung telekomunikasi (wartel) terdekat.

Belum lagi biaya telepon melalui wartel yang relatif mahal.

"Warga setidaknya mengeluarkan uang sekitar Rp70 ribu untuk setiap kali berkomunikasi," kata Kepala Desa, Dadan.

Sedangkan baginya sebagai pemimpin desa, kini tidak lagi harus pergi pulang ke Bojong Picung untuk memberikan laporan kepada camat.

"Setiap saat saya bisa melapor dan berkoordinasi dengan kantor kecamatan melalui telepon," katanya.

Manfaat seluler juga dirasakan warga Kemang lainnya. Ewing Komara (33), kini dengan mudah menghubungi istrinya Aidah (30) yang bekerja sebagai TKI di Arab Saudi.

Pria beranak dua ini setiap saat dapat berkomunikasi dengan sang istri yang terpisah jarak puluhan ribu kilometer dengan nyaman, dan tarif lebih murah.

Sama halnya ketika istrinya hendak berkirim hasil jerih payah di Arab Saudi, tinggal memberikan informasi bahwa uang sudah terkirim.

Desa Kemang, salah satu daerah yang menjadi kantong TKI ke luar negeri. Menurut data, sekitar 270 orang warga Kemang mencari nafkah di Arab Saudi, Kuwait, dan sebagian di Malaysia.

Sejatinya, efek berganda dari layanan seluler di Desa Kemang selain meningkatnya hasil penjualan daun, juga bengkel motor, karena bagi warga ,motor merupakan sarana angkutan utama yang dijadikan ojek.

Tentu yang juga berkembang di daerah berhawa sejuk itu adalah menjamurnya kios penjualan pulsa isi ulang seluler, selain jasa perdagangan lainnya.Jumlah pengguna seluler XL di desa tersebut kini hampir mencapai 5.000 pelanggan.

Buka Isolasi
Hingga kini, XL merupakan satu-satunya operator yang menancapkan menara telekomunikasi di Desa Kemang.

Ditandai berdiri tegaknya menara radio pemancar (base transceiver station/BTS) tersebut, menjadi tonggak bahwa desa ini telah lepas isolasi, dan berkembang sejalan dengan kemajuan jaman.

Jumlah BTS XL di Jawa Barat saat ini mencapai 1.955 unit, telah menjangkau semua kabupaten/kota yang ada dan mencakup 417 kecamatan atau sekitar 99 persen dari total kecamatan di seluruh Jawa Barat.

Sedangkan secara nasional, jumlah BTS XL hingga akhir September 2009 mencapai 18.128 unit, atau menjangkau lebih dari 90 persen populasi penduduk Indonesia, dari Sabang sampai Merauke.

Seluruh menara tersebut dapat melayani pelanggan XL yang hingga medio Oktober 2009 mencapai 26,6 juta.

Direktur Utama XL Hasnul Suhaimi menyatakan, menghadirkan layanan terutama di daerah-daerah terpencil di tanah air merupakan komitmen perusahaan.

"Bahkan pada sebagian daerah di Indonesia, hanya jaringan XL yang tersedia dan memberikan layanan telekomunikasi kepada masyarakat sekitar," kata Hasnul.

Senada dengan itu, Direktur Corporate Service XL, Joris de Fretes mengatakan masih banyak desa terpencil di perbatasan dan pulau terdepan Indonesia yang butuh infrastruktur telekomunikasi.

Di usianya yang semakin matang, XL pada tahun 2009 mengambil tema "13 Tahun XL Berkreasi untuk Negeri", sebagai bentuk komitmen perusahaan memberikan layanan yang terbaik dan berkualitas bagi negeri.

Meski bukan yang tertua di industri telekomunikasi nasional, operator yang mulai beroperasi pada 8 Oktober 1996 ini menjadi yang pertama menghadirkan inovasi tarif seluler termurah, baik layanan suara (voice), layanan pesan singkat (SMS) hingga akses internet murah.

Dalam 10 tahun terakhir, industri telekomunikasi bergerak cepat. Ibarat "jet coaster", industri tumbuh pesat, dan menjadi salah satu penyumbang pertumbuhan ekonomi nasional.

Memasuki tahun 2010, sebagian besar kalangan memperkirakan bahwa industri telekomunikasi menjadi sektor yang masih atraktif, meski dibayang-bayangi dampak krisis keuangan global.

Satu upaya pemerintah membuka isolasi pedesaan dan daerah terpencil dalam rangka program kewajiban pelaksanaan universal (USO) adalah menargetkan pada 2010 sebanyak 25.000 desa berdering.

Untuk itu, komitmen XL mengembangkan jaringan dengan berinvestasi hingga ke pelosok tanah air tidak diragukan lagi.

"Masuk ke daerah remote merupakan salah satu strategi perusahaan mengatasi kemungkinan perlambatan industri, sehingga pangsa pasar kami masih tumbuh sekalipun ada hambatan seperti gejolak krisis keuangan global," tegas Hasnul.

XL sadar betul betapa besar manfaat sarana telekomunikasi bagi pembangunan perekonomian daerah, terlebih daerah rural yang minim fasilitas infrastruktur. Dengan mengembangkan layanan, sesungguhnya sudah membantu pemerintah dan masyarakat dalam memajukan daerah yang akhirnya meningkatkan kualitas hidup rakyat.(*)

Oleh Roike Sinaga
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009