Mataram (ANTARA News) - Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat tengah menunggu kepastian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menangani kasus dugaan korupsi dana APBD Kota Bima tahun anggaran 2002 hingga 2008.

"Kami butuh kepastian penanganan kasus dugaan korupsi itu agar tidak tumpang-tindih," kata Kepala Kejati NTB, Slamet Wahyudi, SH, di Mataram, Minggu.

Ia mengatakan, tim penyidik KPK sudah melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait di wilayah NTB termasuk penyidik Kejati NTB terkait penanganan kasus dugaan korupsi APBD Kota Bima itu.

KPK juga mengincar Walikota Bima, H.M. Nur Latif, terkait laporan dugaan korupsi dana APBD Kota Bima tahun anggaran 2002 hingga awal 2008.

Sementara pihak Kejati NTB juga melakukan serangkaian penyidikan kasus dugaan korupsi APBD Kota Bima itu, namun yang diperkirakan belum disentuh KPK yakni dugaan korupsi APBD 2005 dan 2006 yang nilainya lebih dari lima miliar rupiah.

"Supaya jelas, kita sama-sama menunggu kejelasan dari KPK atas kasus-kasus dugaan korupsi di Kota Bima itu," ujarnya.

Wahyudi optimis kejelasan KPK yang dinanti-nantikan itu akan segera diperolehnya karena pihaknya juga berupaya melakukan koordinasi dengan pihak KPK.

"Kami akan berkoordinasi lagi agar segera jelas, dan khusus untuk perkara yang kami sidik, Walikota Bima itu sudah berstatus tersangka" ujarnya.

Ia menambahkan, dugaan korupsi dana APBD Kota Bima yang ditangani Kejati NTB yakni proyek pembangunan terminal Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) senilai Rp5,5 miliar dan pengelolaan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang juga nilainya lebih dari lima miliar rupiah.

Penyidikan terhadap kasus terminal AKAP sudah menghasilkan dua orang tersangka yakni Walikota Bima, H.M. Nur Latif dan warga yang mengaku sebagai pemilik tanah yakni Arifin.

Dugaan korupsi atau indikasi perbuatan merugikan negara itu terlihat dari bukti-bukti permulaan seperti pengakuan Arifin bahwa tanah seluas lima hektare untuk pembangunan terminal AKAP itu merupakan miliknya sehingga Pemkab Bima membayarnya untuk membebaskan lahan tersebut.

Proses pembebasan lahan tidak sesuai Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau berindikasi penggelembungan harga (mark up) dan lahan itu tidak representatif karena terletak di tepi pantai dan di waktu malam digenangi air laut.

Bahkan, diduga areal untuk pembangunan terminal AKAP itu bukan lahan milik Arifin tetapi merupakan tanah negara karena kawasan pantai biasanya berada dalam penguasaan negara.

Namun, dalam proses pemeriksaan intensif itu Arifin dilanda sakit keras hingga meninggal di Rumah Sakit Islam (RSI) Siti Hadjar Mataram, 11 Juni 2009 atau sehari sebelum ditahan penyidik Kejati NTB di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Mataram.

Hasil diagnosa medis yang diterima Kejati NTB, Arifin menderita kanker paru-paru dan prostat serta pernah menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit (RS) Adi Husada Undaan, Surabaya, Jawa Timur.
(*)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010