Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi VII DPR Syarif Bastaman menilai, tarif baru bagi pelanggan listrik golongan 6.600 volt ampere (VA) ke atas yang ditetapkan PT PLN (Persero) melanggar UU No 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.

"PLN seharusnya meminta persetujuan DPR terlebih dahulu. Keputusan direksi PLN ini terburu-buru dan cacat hukum," katanya di Jakarta, Minggu.

Syarif mengatakan, semua tarif yang menyangkut hajat dan menjadi beban bagi orang banyak termasuk listrik harus dikonsultasikan dan mendapat persetujuan DPR.

"Semua ongkos yang ujungnya ke rakyat mesti ditanya dahulu ke rakyat lagi melalui DPR sebagai representasi rakyat. Itulah fungsinya DPR," ujarnya.

Apalagi, lanjutnya, sesuai kesimpulan rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR periode sebelumnya, PLN diminta melakukan kajian secara menyeluruh mengenai rencana tarif baru bagi pelanggan 6.600 VA ke atas.

"Hasil kajian harus diajukan ke DPR untuk dibahas bersama. Tapi, sampai saat ini, kajian belum diberikan, tapi tarif sudah naik," ujarnya.

Ia menambahkan, PLN tidak bisa beralasan kenaikan tarif hanya berlaku bagi pelanggan 6.600 VA ke atas yang jumlahnya hanya 35.000 pelanggan. "Pelanggan 6.600 VA juga rakyat," katanya.

Pihak PLN juga beralasan sudah memiliki koridor hukum, yakni UU APBN 2010. "Sesuai UU Ketenagalistrikan, PLN tetap harus meminta persetujuan DPR. Jadi, jangan beralasan karena ada UU APBN atau kebijakan ini ditujukan bagi pelanggan mewah, lantas menaikkan tarif seenaknya," katanya.

Sebagai perusahaan pelayanan publik, lanjutnya, PLN dituntut tidak hanya mencari keuntungan, namun juga memberikan pelayanan yang terbaik bagi pelanggannya.

Menurut dia, pemberlakuan tarif sejak Januari 2010 dan ditagihkan ke pelanggan 6.600 VA ke atas pada Februari ini berpotensi mendapat gugatan class action dari masyarakat.

"Kami juga ingatkan, PLN bisa digugat `class action` dan pada akhirnya merugikan PLN sendiri," ujarnya.

Ia juga menyayangkan, jawaban Dirut PLN Dahlan Iskan yang dalam rapat dengar pendapat pada Kamis (11/2) lalu hanya mengatakan mohon maaf karena mengaku tidak tahu. "Tidak sesederhana itu," katanya.

Komisi VII, tambahnya, akan mengagendakan rapat dengar pendapat dengan PLN yang khusus membahas kenaikan tarif tersebut dalam waktu dekat.

Sementara itu, pengamat kelistrikan, Faby Tumiwa mengatakan, pemberlakuan tarif baru bagi pelanggan 6.600 VA tidak tepat.

Pertama, PLN tidak mengkomunikasikannya dengan pemerintah dan tanpa melalui keputusan pemerintah sebagai payung hukumnya.Kedua, kenaikannya hanya dilakukan secara terbatas.

"Seharusnya, PLN ijin dulu ke pemerintah sebagai regulator. Tarif ini juga mesti diatur dengan jelas oleh keputusan pemerintah, sehingga bisa sebagai dasar hukum bagi PLN," katanya.

Menurut dia, dirinya setuju dengan kenaikan tarif listrik, namun cara yang dilakukan PLN kurang tepat.

Cara seperti ini, lanjutnya, sama hanya dengan penerapan tarif multiguna bagi pelanggan industri yang juga menimbulkan penolakan. "Jadi, kebijakan tarif PLN ini dari sisi kepentingan konsumen tidak tepat, sisi kebijakan juga tidak benar," katanya.

Ia menambahkan, sesuai UU Ketenagalistrikan, kenaikan tarif harus dikonsultasikan dengan DPR. "Segala sesuatu terkait tarif, tidak boleh PLN ambil kebijakan secara sepihak," ujarnya.

Faby menyarankan, PLN melakukan proses kenaikan tarif secara transparan dengan disertai dasar hukum yang jelas, sehingga masyarakat tidak resisten. "Jangan tiba-tiba seperti ini dan pelanggan hanya diberi surat," katanya.
(T.D011/A014/P003)

Pewarta:
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010