Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah diharapkan merevisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk terutama pasal 10 dan 11 mengenai penggunaan barang milik negara sebagai jaminan penerbitan surat berharga tersebut.

"Kami mengharapkan pemerintah segera merevisi undang-undang tersebut (SBSN)," kata akademisi Universitas Patria Artha Makassar, Sebastian Lubis, di Jakarta, Minggu. Sebastian juga Ketua Yayasan Patria Artha yang mengkhususkan kegiatan pada bidang pendidikan, pelatihan, penerapan, dan pengembangan ilmu keuangan negara.

Ia menjelaskan pihaknya telah mengajukan permohonan uji materil Undang-Undang SBSN ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 7 Desember 2009 karena menilai dua pasal pada undang-undang terkait sukuk itu yaitu pasal 10 dan 11 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pasal 33.

Pada pasal 10 ayat 1 menyebutkan barang milik negara dapat digunakan sebagai dasar penerbitam SBSN yang untuk selanjutnya barang milik negara dimaksud disebut sebagai aset SBSN dan pada ayat 2 menyebut aset SBSN sebagaimana dimaksud ayat 1 dapat berupa tanah dan/atau bangunan, serta selain tahan dan/atau bangunan.

Selanjutnya pasal 11 menyebut (1) penggunaan barang milik negara sebagai aset SBSN sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat 2 melakukan menteri dengan cara menjual atau menyewakan hak manfaat atas barang milik negara atau cara lain yang sesuai dengan akad yang digunakan dalam rangka penerbitan SBSN.

Sebastian mengkhawatirkan kedua pasal tersebut berpotensi merugikan warga negara Indonesia bila pemerintah mengalami gagal bayar atas sukuk yang telah dikeluarkan. Menurut dia, pemerintah perlu mencari alternatif lain sebagai penjaminan aset ("underlying asset") atas penerbitan sukuk tersebut. "Alternatifnya apa, pemerintah yang harus mencari," ujarnya.

Ia mengatakan kedua pasal dalam Undang-Undang SBSN tersebut juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara khususnya pasal 49 ayat 4 yang menyatakan barang milik negara/daerah dilarang diserahkan kepada pihak lain sebagai pembayaran atas tagihan pemerintah pusat/daerah dan ayat 5 menyatakan barang milik negara/daerah dilarang digadaikan atau dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman.

"Kami selaku pemohon menganggap pasal 10 dan 11 dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 itu bertentangan dengansemangat UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor1 Tahun 2004, karena itu harus batal demi hukum," kata Sebastian.

Pada 16 Pebruari 2010 Mahkamah Konstitusi telah melakukan sidang pengujian Undang-Undang SBSN terhada UUD 1945 dengan agenda mendengarkan keterangan pemerintah, DPR, saksi dan ahli dari pihak pemohon (Sebastian Lubis) dan pemerintah.

Pada sidang tersebut wakil pemerintah Dirjen Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan Rahmat Waluyanto mengatakan dalam konsep ekonomi syariah, penerbitan SBSN harus menggunakan "underlying transaction" yang antara lain dapat berupa jual beli atau sewa atas hak manfaat barang milik negara, jasa, pembangunan proyek, atau obyek pembiayaan lainnya.

Ia juga mengatakan penggunaan barang milik negara sebagai "underlying asset" karena pemindahtanganan yang terjadi adalah pengalihan hak manfaat atas BMN yang hanya untuk keperluan penerbitan BSN. "Pemerintah, sejak awal telah dan akan menegaskan kembali bahwa penggunaan barang milik negara sebagai jaminan aset penerbitan SBSN sama sekali tidak pernah ditujukan untuk menjaminkan atau menggadaikan barang milik negara kepada investor," katanya.

Rahmat pada sidang tersebut juga menyatakan kekhawatirannya permasalahan penggunaan barang milik negara sebagai aset SBSN akan berdampak negatif terhadap upaya pemerintah mempercepat pertumbuhan pasar keuangan syariah di Indonesia.

Lebih jauh ia mengemukakan saat ini pemerintah telah menerbitkan surat berharga negara senilai Rp979 triliun, diantaranya SBSN atau sukuk yang nilainya mencapai Rp27,54 triliun termasuk SBSN dalam bentuk valuta asing sebesar 650 juta dolar AS. Surat berharga tersebut telah dimiliki oleh investor dari dalam dan luar negeri, termasuk investor dari kawasan Timur Tengah.

"Apabila permohonan pemohon tidak ditolak, maka kepercayaan investor akan runtuh, karena penggunaan barang milik negara sebagai underlying penerbitan SBSN dianggap tidak berdasarkan pada ketetapan hukum yang kuat, dan bahkan tidak tertutup kemungkinan pemerintah dapat dianggap gagal bayar," katanya. (R016/K004)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010