London (ANTARA News/AFP) - Amnesti Internasional (ai) mengatakan, senjata-senjata yang dipasok dari luar negeri digunakan oleh angkatan darat Guinea untuk melakukan pembantaian mengerikan terhadap para pendukung oposisi tahun lalu, kata laporan yang diterbitkan Selasa (23/2).

Laporan mengungkapkan bagaimana senjata-senjata dan peralatan keamanan itu dipasok dari Afrika Selatan, Prancis dan lain-lain, digunakan sebagai alat oleh pelaku kejahatan pada 28 September 2009, kata kelompok hak asasi manusia (HAM) tersebut dalam pernyataannya.

Kelompok HAM itu juga mengarahkan kritik tajam kepada peran Prancis, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berkaitan bantuan militer kepada bekas koloninya di Afrika barat itu.

Tentara membunuh lebih dari 150 penentang rezim militer Guinea pada saat berlangsung demonstrasi di stadion Conakry.

Tentara menembak, menusuk dan menghantam para pelaku aksi protes, dan melakukan pemerkosaan terhadap wanita secara terbuka.

"Di waktu lalu, beberapa pemerintah memberikan bantuan militer yang tampaknya untuk lebih mengintensifkan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan mereka dengan penguasa Guinea, ketimbang melindungi HAM rakyat Guinea," kata tokoh Amnesti, Gaetan Mootoo.

"Pemberian bantuan di masa depan mestinya didasarkan pada standar HAM internasional."

Kecaman kelompok-kelompok HAM itu terjadi setelah Pengadilan Kejahatan Internasional Jumat mengatakan, pembantaian itu adalah kejahatan terhadap kemanusiaan.

Pemeriksaan yang dilakukan Komisi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) juga mencapai kesimpulan yang sama.

Dalam laporannya, Amnesti menanyakan keputusan pemerintah Prancis dalam bulan ini untuk mengkaji kerjasama militernya dengan Guinea. Amnesti mengatakan bahwa tindakan itu diduga bertentangan dengan embargo senjata Uni Eropa terhadap negara Afrika barat itu.

Laporan itu juga meningkatkan kekhawatiran tentang bantuan militer Prancis di waktu lalu kepada Guinea, dan menyoroti ekspor gas air mata serta senjata-senjata anti kerusuhan dari Prancis, yang menurut kelompok itu tidak dilaporkan kepada parlemen negara tersebut.

Kelompok HAM menyeru bagi perlunya reformasi terhadap pasukan keamanan, dan memperingatkan, negara itu mungkin terperosok ke dalam era baru pelanggaran HAM.

"Reformasi pasukan keamanan berdasarkan standar HAM internasional sangat diperlukan untuk menghindari terulangnya kejadian-kejadian yang mengerikan September silam," kata Mootoo.
(Uu.H-AK/H-RN/P003)

Pewarta:
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010