PBB (ANTARA News) - Dewan Keamanan PBB Kamis menyambut baik perjanjian perdamaian sementara yang dicapai di Doha oleh Sudan dan kelompok pemberontak penting Darfur serta mendesak penerapannya dengan cepat.

"Para anggota Dewan Keamanan minta pada pihak-pihak itu bergerak untuk menerapkan dengan cepat perjanjian itu sepenuhnya sebagai langkah penting ke arah perdamaian di Darfur," kata pernyataan yang dibacakan oleh Dubes Prancis untuk PBB Gerard Araud, yang memimpin badan beranggotakan 15 negara itu bulan ini.

Perjanjian sementara 12 butir itu ditandatangani di ibukota Qatar Selasa oleh Presiden Sudan Omar al-Bashir dan Khalil Ibrahim, pemimpin Gerakan Keadilan dan Persamaan (JEM) Darfur. Perjanjian perdamaian akhir akan ditandatangani pada 15 Maret.

Anggota-anggota Dewan Keamanan juga minta "semua pihak lainnya di Darfur untuk bergabung dengan proses perdamaian dan perjanjian Doha itu", kata Araud seperti dikutip AFP.

Perjanjian Doha menawari JEM, yang dianggap sebagai kelompok yang paling dipersenjatai di Darfur, peran pembagian-kekuasaan di Sudan, tempat pemilihan presiden dan legislatif akan diadakan April.

Dewan juga memuji Emir Qatar Sheikh Hamad bin Khalifa al-Thani dan Djibril Bassole Bassole, ketua penengah PBB dan Uni Afrika dalam konflik itu, atas sumbangan mereka pada proses perdamaian Darfur tersebut.

Dan para anggota dewan mengakui "upaya substansial Presiden Chad Idriss Deby dan pemerintahnya dalam memudahkan perjanjian ini".

Berbicara Rabu di El Fasher, ibukota negara bagian Darfur Utara, Bashir, sasaran surat perintah penangkapan Pengadilan Kriminal Internasional karena yang diduga kejahatan perang di wilayah yang dirusak-perselisihan itu mengatakan: "Krisis di Darfur telah selesai; perang di Darfur sudah usai. Darfur dalam perdamaian".

Namun klaim Bashir akan perdamaian itu bertentangan dengan laporan tentang pertempuran hebat di Darfur antara sebuah kelompok pemberontak yang tak mau menyerah dan pasukan pemerintah.

"Konflik Darfur telah menyebabkan sekitar 300.000 orang tewas dan menelantarkan 2,7 juta orang, menurut hitungan PBB, sejak konflik itu meletus Februari 2003. Khartoum menyebutkan korban tewas 10.000 orang.

Pemberontak etnik minoritas mengangkat senjata melawan Khartoum dan milisi Arab dukungan-negara, yang meminta akses lebih besar ke sumber dan kekuasaan.(*)

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010