Pati (ANTARA News) - Draf Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Nahdlatul Ulama (NU) yang akan dibahas di Muktamar NU mendatang, dinilai mengebiri peran syuriah karena hanya berfungsi sebagai pengawas.

Muktamar NU ke-32 akan berlangsung di Makassar, Sulawesi Selatan, 22-27 Maret 2010,

"Berdasarkan draf AD/ART yang akan dibahas di muktamar, terdapat perbedaan yang jauh dari tujuan awal NU," kata Rais Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jateng Kiai Masruri Mughni di Pati, Ahad.

Kiai Masruri Mughni mengemukakan hal itu pada acara "Silaturahmi Rais Syuriyah dan Para Kiai se-Indonesia" di Pondok Pesantren Maslakul Huda, di Desa Kajen, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati.

Draf AD/ART yang dianggap berbeda dari sebelumnya, yakni pada bab 7 kepengurusan pada pasal 11 ayat (3), dijelaskan syuriah adalah pimpinan tertinggi NU. Tetapi, pada draf yang baru syuriah adalah unsur kepengurusan yang dipimpin oleh rais am di tingkat nasional dan rais pada tingkat bawahnya.

Selain itu, kata dia, pada bab 8, dijelaskan syuriah berwenang dan bertugas membina, mengarahkan, dan mengawasi pelaksanaan keputusan organisasi sesuai tingkatannya.

"Artinya, kedudukan syuriah hanya sebagai pengawas dan bukan pengendali," ujarnya.

Dalam ART yang lama, dijelaskan bawah pengurus selaku pimpinan tertinggi sebagai pengendali dan pengawas. "Sedangkan penentu kebijakan hilang pada ART yang nantinya akan dibicarakan pada Muktamar nanti," ujarnya.

Sebelumnya, kata dia, NU menjadikan ulama sebagai peran sentral.

Rais Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Kiai MA Sahal Mahfudh menjelaskan bahwa makna NU itu selalu bergerak dan tidak berhenti, serta selalu melaksanakan apa yang menjadi tujuannya.

Apabila rais syuriah hanya dianggap sebagai pengawas, kata dia, tindakan tersebut merupakan pengebirian. "Oleh karena itu, forum ini menjadi kesempatan untuk membicarakan persoalan tersebut. Apakah menerima pengebirian jelang muktamar, bahkan smpai pada muktamar," ujarnya.

Menurut dia, NU harus kembali pada khitah yang murni atau sebenarnya yang tidak ada latar belakang kepentingan politik.

"Bukan berarti NU tidak mau politik, tetapi kegiatan NU tidak untuk pelaksanaan dan kerja politik," ujarnya.

Sementara itu, hasil kesepakatan peserta silaturahmi para kiai dan rois syuriah se-Indonesia menyebutkan, bahwa lembaga syuriah Nu di semua tingkatan merupakan simbol kepemimpinan tertinggi di lingkungan NU.

Selain itu, lembaga syuriah juga menjaga dan mengarahkan jam`iyah sesuai khitah nahdliyah dan jati diri keulamaan dalam menjaga dan mengembangkan aqidah ahlusunnah wal jamaah yang selama ini dijunjung tinggi di lingkungan NU.

Katib Syuriyah PBNU, Malik Madani, yang bertindak sebagai juru bicara mengatakan, peserta silaturahmi juga sepakat untuk menjadikan lembaga syuriah NU sebagai simbol penjaga tradisi keagamaan, mengingat dibutuhkan figur yang alim dan faqih sebagai rais am syuriah.

Peran sentral syuriah dalam sejarah NU juga ditunjukkan dengan tampilnya tokoh-tokoh ulama yang mempunyai kapasitas keilmuan, kesalehan dan keihklasan, kemampuan membimbing, mengawal, serta mengawasi perjalanan organisasi dan umat.

Sejauh ini, tidak ada keraguan sedikitpun, bahwa peranan syuriah dalam organisasi NU menjadi begitu sentral dan produk keputusan syuriah juga menjadi pedoman daam ibadah muamalah, menuju keselamatan di dunia dan akhirat.

Menjelang Muktamar NU ke-32 di Makassar, Sulawesi Selatan pada 22-27 Maret 2010, muncul wacana untuk mereduksi peran sentral syuriah hanya semata-mata dalam pengertian yang sempit seperti halnya manajer fungsional organisatoris, sehingga peran ulama dianggap tidak penting lagi.

Bahkan, jabatan syuriah akan diarahkan menjadi jabatan bernuansa politis, sehingga kesakralannya dipertaruhkan seperti layaknya jabatan-jabatan duniawi. (AN/K004)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010