Jakarta (ANTARA News) - "Ksatria di atas dan di luar ring," adalah moto tinju amatir yang melekat pada pribadi Mochamad Saleh Basarah yang meninggal Kamis (11/3-2010) setelah malang melintang membina tinju Indonesia sampai ke kancah dunia.

Ia pernah menjabat ketua FAAB (Federasi Tinju Amatir Asia) dan anggota Komite Eksekutif AIBA (Asosiasi Tinju Amatir Dunia). Mantan KASAU Marsekal TNI (Purn) itu menjadi Chef De Mission kontingen Indonesia ke Olimpiade Los Angeles 1984 dan menjabat ketua Litbang KONI Pusat (1982-1987).

Saleh Basarah, kelahiran 14 Agustus 1928 di Manonjaya, Tasikmalaya, Jawa Barat, yang sejak kecil menggemari olah raga tinju, dipilih menjadi ketua umum PB Pertina sepanjang 1971-1988 sampai akhirnya ia mengundurkan diri agar terjadi regenerasi.

"Saya mengabdi dalam bidang olahraga ini secara tulus dan ikhlas tanpa pamrih. Bagi saya berjuang untuk bangsa dan negara bukan hanya lewat jalur militer dan peperangan, tetapi mengisi kemerdekaan dengan mengharumkan bangsa dan negara melalui olahraga di forum internasional. Itu juga merupakan perjuangan," kata Saleh Basarah.

"Olahraga selayaknya mewujudkan nilai sportivitas, kejujuran, patuh pada aturan main dan rasa persaudaraan dan berkaitan erat dengan akhlak bangsa," katanya dalam buku memoar "Pengabdian Saleh Basarah Dalam Olahraga Tinju Amatir Indonesia" (Jakarta, 2007).

Periode kepemimpinan Saleh Basarah merupakan puncak kejayaan tinju amatir Indonesia. Ia memiliki banyak moto dan falsafah yang diejawentahkannya kepada para pengurus Pertina terutama kepada para petinjunya.

"Sukses adalah ujian terhadap karakter. Kegagalan adalah ujian terhadap daya kemauan," katanya.

"Permainan tinju bukanlah olahraga yang hanya memukul dan dipukul, melainkan sebuah pertunjukan karakter dan pembentukan sikap para petinju dan pembinanya. Di atas ring petinju harus mematuhi aturan yang berlaku, karena seorang petinju tidak bisa lari dari ring," katanya dalam berbagai kesempatan.

Pada periode kepemimpinannya, petinju Indonesia tampil dalam 97 pertandingan internasional dengan membawa pulang 159 medali emas 132 medali perak dan 185 medali perunggu. Ketika itu Indonesia disegani di tingkat Asia, apalagi di Asia Tenggara.

Ada sekitar 127 petinju yang berjaya ketika itu, di antaranya Idwan Anwar, William Gomies, Ferry Moniaga, Frans VB, Syamsul Anwar Harahap, Sparling Pangaribuan, Johny Riberu, Charles Thomas, Herry Maitimu, Carol Renwarin, Elly Pical, Sonny Siregar dan yang lainnya.

William Gomies, Ferry Moniaga, Syamsul Anwar Harahap, Frans VB, ketika itu merajai kelas terbang, menengah dan welter di tingkat Asia dan mereka biasa membawa pulang medali emas.

Dalam bidang pendanaan dan pembibitan petinju ketika itu, cabang olah raga lainnya harus acung jempol.

Pembibitan ketika itu amat berkesinambungan sama dengan ajang uji coba mereka yang amat ajeg, ada kejuaraan tinju nasional, invitasi nasional, PON dan turnamen Piala Presiden. Pertandingan sebagai soko guru olahraga dilakukan berkesinambungan baik bersifat nasional mau pun internasional.


Pembinaan WO2

Saleh Basarah dengan semangat nasionalis tinggi, mendambakan tiga kerangka pembinaan petinju di Tanah Air, yaitu pembinaan watak, otak dan otot yang ketika itu amat dikenal dengan istilah WO2.

"Itu amat berkaitan dengan nation and character building," kata Saleh Basarah yang pernah sekolah di AS, pernah sebagai duta besar Indonesia di Inggris dan menerima segudang tanda penghargaan dari pemerintah Indonesia dan negara lain.

Pada masa kepemimpinan Saleh, ada lima petinju Indonesia yang tampil sebagai juara Asia. "Itu prestasi yang sulit diulang pengurus Pertina lainnya. Tapi Pak Saleh tidak pernah merasa dia yang paling jumawa, karena wibawanya yang luhur," kata Syamsul Anwar ketika memberi komentar dalam buku memoar Saleh Basarah.

Mantan KASAU (1973-77) ini pun amat menyatu dengan apa yang diurusnya. "Pak Saleh amat memperhatikan keselamatan petinju. Bahkan kesiapan panitia selalu diceknya, termasuk penginapan petinju, ofisial, pelatih, dokter, dan wasit hakim. Sarana dan prasarana medis tak luput dari pengawasannya," kata Zulkaryono Arifin, mantan pelatih tinju dan ketua bidang teknik PB Pertina.

"Pak Saleh Basarah amat saya kagumi secara pribadi. Perwira berpangkat tinggi seorang Marsekal Udara itu dikenal masyarakat luas karena kepemimpinannya, namun tetap rendah hati dan senang bergaul dengan siapa saja," kata wakil ketua eksekutif PB Pertina saat itu, Bob RE Nasution dalam buku memoar Saleh Basarah. Bob mendahului Saleh memenuhi panggilan Sang Pencipta beberapa bulan lalu.

Karena kedekatannya dengan media, Saleh Basarah pun bekerja sama dengan PWI menyelenggarakan "Jakarta Golden Gloves Championships I" pada 1975 dan menjadi Sarung Tinju Emas mulai 1976. Kejuaraan itu hilang timbul tapi saat ini (Maret 2010) berlangsung STE XXIX di Makassar, Sulawesi Selatan.

Prestasi para atlet selalu tidak dapat dipisahkan dari kiprah dan ketulusan pimpinan utamanya dan hal itu sudah dibuktikan Saleh Basarah, yang amat dekat dengan berbagai kalangan serta memimpin amat demokratis.

Selamat jalan Pak Saleh, semoga engkau tetap sebagai teladan dan menjadi contoh pemimpin dalam memajukan olahraga nasional Indonesia yang saat ini lagi carut-marut. (A008/K004)

Oleh Oleh A.r. Loebis
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010