Jenewa (ANTARA News/AFP) - Pakar PBB telah menuduh rejim Korea Utara mengubah negara itu "menjadi sebuah penjara besar", merujuk pada pelanggaran HAM meluas yang dilakukan oleh Pyongyang pada warganya.

Dalam sebuah laporan yang seharusnya diperiksa oleh Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Senin, pakar itu, Vitit Muntarbhorn, mengatakan bahwa elit pemerintah telah menciptakan "sebuah ketakutan yang meluas" atau "negara seperti sebuah penjara besar" bagi warganya.

Dia menyeru lembaga tinggi PBB seperti Dewan Keamanan dan Pengadilan Kriminal Internasional untuk memainkan peran yang lebih aktif dalam upaya mengatasi kekebalan hukum negara itu, terutama atas kejahatan terhadap kemanusiaan.

"Pelanggaran terhadap masyarakat umum yang seharusnya menjadi tanggung jawab pihak berwenang sangat mengerikan dan meluas," kata pelapor khusus terkait hak asasi manusia di Korea Utara itu.

"Situasi hak asasi manusia di negara ini dapat disebutkan sebagai "unik", yang ditunjukkan melalui sejumlah anomali."

"Sederhananya, ada banyak pelanggaran HAM yang mengerikan," kata laporan Muntarbhorn, menuduh rejim militer mencoba untuk mengabadikan kekuasaannya dengan biaya rakyatnya.

Dia menyeru Korea Utara untuk segera memulihkan distribusi pangan, menunda eksekusi, hukuman fisik dan pelanggaran terhadap kebebasan sipil, serta mengijinkan dia mengunjungi negara itu.

Korea Utara telah menolak untuk bekerja sama dengan pakar PBB. Muntarbhorn telah bergantung pada hasil wawancara dengan orang-orang yang berhasil melarikan diri ke negara-negara tetangga dan informasi dari kelompok HAM serta sumber-sumber lain.

"Praktik untuk memastikan ketakutan di benak rakyat merajalela, termasuk pengadilan publik, penyiksaan, hukuman kolektif dan perlakukan buruk pada anak-anak dan perempuan," serta pengawasan ekstensif, katanya.

Dia juga menggarisbawahi laporan bahwa rejim telah memperkuat pengaruhnya pada distribusi pangan dengan mencegah pasar dan penjual kecil.

"Situasi terkait kekurangan pangan pada 2009 --yang berdampak pada 2010-- masih parah," terutama di timur laut, tambahnya.

Muntarbhorn menekankan bahwa "masalahnya tidak hanya kekurangan pangan namun juga terganggunya distribusi pangan, untuk keuntungan para elit."(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010