Jakarta (ANTARA News) - Perkembangan teknologi informasi membentuk wajah baru pers dunia pada abad 21 yang oleh Lee C. Bollinger, Rektor Universitas Columbia, Amerika Serikat disebutnya "Tanpa batas, kokoh dan terbuka lebar".

Bollinger dalam bukunya berjudul "Uninhibited, Robust, and Wide-Open" terbitan Oxford University Press, 2010, mengemukakan tantangan yang dihadapi dunia kewartawanan dalam menyikapi dampak penggunaaan teknologi informasi yang mutakhir dan krisis global.

Bisnis media massa khususnya yang konvensional seperti surat kabar mengalami krisis keuangan, sementara aturan terhadap kebebasan pers masih menjadi perdebatan hangat karena bentuknya yang beragam pada setiap negara.

Menurut Bollinger, sejarah dunia mencatat perkembangan komunikasi dan hubungan antarmanusia sejak zaman jalan sutra, penemuan mesin cetak oleh Gutenberg, pemasangan kabel komunikasi transAtlantic hingga pada pemakaian internet dan satelit, yang kini turut mengubah relasi antarmanusia.

Pengalaman Bollinger menulis seperti diakuinya dalam kata pengantar sudah tumbuh sejak muda. Ia memulai karir jurnalistik dengan melakukan pekerjaan kasar di koran daerah milik ayahnya hingga kini ia dikenal sebagai salah seorang juri bagi penghargaan jurnalistik Pulitzer yang bergengsi itu.

Pada bagian pertama buku yang diberi judul "Uninhibited, Robust, and Wide-open" yang juga menjadi judul buku, direktur Washington Post itu mengulas soal kebebasan pers di Amerika Serikat yang sering menjadi model di negara-negara lain, serta pergeseran nilai "kebebasan" dimulai dari sejarahnya sejak masa kerajaan di Eropa.

Bagian dua bertajuk "It is an Experiment" banyak membahas kasus-kasus kebebasan pers di AS termasuk proses peradilannya dan sistem hukum yang berlaku.

Kebebasan pers diakui tidaklah pernah bebas sepenuhnya, selalu ada batas-batas kepentingan baik itu ideologi maupun industri bahkan juga batas yang ditetapkan oleh publik.

Benturan yang terjadi di tengah kebebasan pers yang didukung oleh perkembangan teknologi informasi yang dengan cukup radikal menembus batas ruang dan waktu, serta sikap masyarakat yang nyaris tidak berubah diulas dalam bagian tiga yang diberi judul "Regardless Frontier".

Menurut Lee Bollinger, kasus teror yang menimpa AS pada 11 September 2001 juga membawa dampak bagi pers setempat.

"Pada tanggal 21 Oktober, New York Time melaporkan bahwa akses wartawan kepada kegiatan militer (AS) di Afganistan telah dibatasi," demikian salah satu kalimat yang tertera dalam bagian tiga buku Bollinger itu.

Tertulis di dalam buku itu, kapal induk Kitty Hawk tidak mengajak wartawan seorang pun, ketika dari kapal itu sejumlah helikopter diterbangkan ke Afganistan. Wartawan juga tidak terlihat di Oman yang menjadi pangkalan pasukan khusus AS.

Pentagon berkilah bahwa pembatasan itu demi keamanan dan alasan politik bagi AS dan sekutunya, namun Times juga melihat bahwa tekanan serupa juga terjadi pada pers dalam Perang Teluk.

Kebebasan pers saat ini disebutnya menghadapi tahapan baru dalam perkembangannya. Kebebasan pers sudah teruji dalam serangkaian keputusan hukum yang banyak diulas pada bagian dua, namun juga menghadapi sejumlah tantangan meliputi pula meningkatkan profesionalisme di bidang jurnalistik dan sisi bisnis media massa.

Bollinger mengajak pembacanya untuk memikirkan langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam menyikapi tantangan dan perubahan yang terjadi dengan mengupas sejumlah contoh kasus menyangkut masalah kewartawanan dan kebebasan pers.

John Sexton, Rektor Universitas New York, berkomentar, melalui bukunya yang menganalisis evolusi makna dan praktek kebebasan pers dalam sejarah AS itu, Lee Bollinger sekali lagi membuktikan dirinya sebagai tokoh pemuka dan pemikir yang utama untuk Amandemen Pertama.

Amandemen pertama (First Amandement) merupakan Undang-undang di AS yang mengatur tentang kebebasan berbicara dan kebebasan pers, kebebasan beragama, berserikat, serta hak melakukan petisi.

Buku "Uninhibited, robust, and wide-open: a free press for a new century" ini mencerminkan sejarah kebebasan pers yang ikut membentuk Amerika Serikat serta menekankan pentingnya untuk terus mencari kebebasan tersebut dalam era globalisasi abad 21.

Buku setebal 210 halaman yang dicetak pada kertas bebas asam (free acid) itu sudah beredar di Indonesia dan dapat dibeli di toko buku Times dengan harga untuk Indonesia sebesar Rp 260.000. Sedangkan di AS dipatok dengan harga 21,95 dolar.

Toko Buku Times menggelar diskusi buku tersebut pada Jumat (12/3) di Jakarta dengan menghadirkan pembicara Endy M. Bayuni (pemimpin redaksi The Jakarta Post), Ezki Suyanto (Aliansi Jurnalis Indonesia), Andreas Harsono (Ketua Yayasan Pantau, Lin Neuman (Penasehat Keredaksian The Jakarta Globe) dan John Ryadi (Redaktur Lepas untuk The Jakarta Globe dan dosen di Universitas Pelita Harapan).

Bertindak selaku moderator dalam diskusi buku tersebut adalah pakar komunikasi Prof Dr Tjipta Lesmana.

Lee C. Bollinger, lahir di Santa Rosa, California, AS, dibesarkan di kota Baker, Oregon.

Sepanjang karirnya tokoh yang dikenal sebagai pakar First Amandement itu telah meraih banyak penghargaan atas karya tulisnya dan kegigihannya mengawal kebebasan pers dan kebebasan berbicara.

Buku-buku karyanya yang lain adalah The Tolerant Society: Freedom os Speech and Extremist Speech in Amerika, Iamges of a Free Press (Oxford University Press, 1986), Eternally, Vigilant: Free Speech in the Modern Era.

(E.S018/S026)

Oleh Oleh Maria D. Andriana
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010