Jakarta (ANTARA News) - Peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengemukakan, UU Penodaan Agama No 1/PNPS/1965 sebaiknya direvisi tetapi jangan dicabut karena dampaknya akan membahayakan Tanah Air.

"Kalau kita mencabut UU Penodaan Agama, akan ada bandul jam yang dibiarkan bergerak ke kanan dan ke kiri secara ekstrim. Kita harus membayar mahal akan dampaknya bila UU Penodaan Agama dicabut," katanyai saat memberikan keterangan sebagai ahli dalam sidang uji materi UU Penodaan Agama di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, Rabu.

Siti memaparkan, pihak yang menginginkan pencabutan UU Penodaan Agama seharusnya menyadari bahwa masyarakat Indonesia masih sensitif terhadap hal-hal yang berkaitan dengan agama dan ideologi.

Untuk itu, Doktor Ilmu Politik lulusan Universitas Perth itu menyarankan agar UU Penodaan Agama direvisi atau ditinjau ulang agar bisa sesuai dengan konteks pada masa sekarang.

Apalagi, ujar dia, UU Penodaan Agama merupakan produk hukum yang telah ada di Indonesia selama jangka waktu 45 tahun.

Menurut Siti, pro-kontra di masyarakat terkait dengan uji materi UU Penodaan Agama ini merupakan indikasi dari bangsa kita yang juga sedang mencari bentuk terbaik yang berhubungan dengan substansi UU tersebut.

"Pro-kontra terkait UU ini membuktikan bahwa bangsa ini masih dalam proses menjadi," kata Siti yang telah berkiprah di LIPI selama 23 tahun ini.

Ia mengusulkan agar revisi atau peninjauan ulang yang dilakukan seharusnya menciptakan suatu ketentuan berdasarkan konsep "liveable communities", yaitu komunitas yang bisa didiami oleh setiap warga negara tanpa adanya pembedaan yang diskriminatif berdasarkan ras, etnis, dan agama.

Siti menegaskan, dalam konsep politik, sebuah negara demokrasi harus bisa menjamin dua hal, yaitu nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) dan prinsip kewarganegaraan yang setara.(M040/A024)

Pewarta:
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2010