Jakarta (ANTARA News) - Pengacara OC Kaligis meluncurkan buku berjudul "Korupsi Bibit dan Chandra" setebal 632 halaman yang mengupas ketidakadilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penanganan kasus korupsi.

KPK terkesan super power tanpa ada pengawasan. "Harus ada pihak yang mengawasi KPK, karena selama ini dianggap terlalu kuat, maka kami harus membuat buku tentang itu agar masyarakat dapat mengetahui," kata OC Kaligis saat dihubungi Kamis.

Dia mengatakan, dalam buku yang diterbitkan oleh "Indonesia Against Injustice" itu terdapat 16 Bab termasuk testimoni mantan Ketua KPK Antasari Azhar serta pendapat sejumlah ahli hukum diantaranya Prof. Dr. Indriyanto Seno Aji dan Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya.

Menurut dia, tindak pidana yang dilakukan Bibit Samad Rianto (Bibit) dan Chanda Martha Hamzah (Chandra) tidak sampai ke meja hijau akibat tekanan publik.

Padahal kasus yang menimpa Anggodo Widjojo, adik bos PT Masaro Radiokom, identik dengan Bibit dan Chandra, namun perbedaannya adalah diskriminasi.

Bahkan Anggodo ditahan dan perkaranya terus dilanjutkan tanpa dasar hukum sementara Bibit dan Chandra meski berkas perkara dinyatakan rampung (P-21) oleh jaksa, tapi tidak sampai ke meja hijau.

Dia menambahkan berdasarkan asas "Equality Before The Law" bahwa tidak mengenal diskriminasi, semua sama dimata hukum tanpa harus ada perbedaan, tapi bagi Anggodo hal itu dianggap tidak adil.

Pelaku yang diduga memberi suap ditahan sementara yang menerima tidak diajukan ke pengadilan, ini namanya tidak adil, katanya.

Sedangkan untuk kasus Bibit dan Chandra, maka Presiden Sosilo Bambang Yudhoyono dipaksa untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan.

Demikian pula, katanya, dalam pengantar bukut tersebut KPK saat ini dianggap sebagai super power dalam penegakan hukum tanda ada pihak yang mengawasi.

Adanya kasus yang menimpa Anggodo disangka melakukan tindak pidana korupsi dengan dasar bahwa menghalang-halangi pemeriksaan adalah tanpa alasan, karena dalam kasus Bibit dan Chandra maka Anggodo tidak berhubungan langsung dengan KPK.

Sedangkan Anggodo tidak dalam kapasitas dan wewenang untuk memberi perintah kepada KPK, padahal yang memiliki akses ke KPK adalah Ari Muladi, bahkan Anggodo hanya korban pemerasan Ari Muladi.

Kaligis mengatakan, dalam buku itu juga diulas tentang adanya pemberitaan bahwa media massa televisi maupun surat kabar telah menvonis Anggodo melanggar pasal 53 KHUP jonto pasal 15 dan pasal 25 UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Menurut dia, KPK dalam menyelidiki dan menyidik mengunakan KUHAP, dalam prakteknya banyak hal yang telah menyimpang, hal itu karena tidak ada yang mengawasi, sehingga KPK yang dianggap super power itu dapat berkurang.

Sebagai contoh, bahwa dalam pemeriksaan terhadap saksi tidak pernah bisa didampingi oleh penasehat hukum di depan penyidik KPK hal ini tentu sangat berbeda dengan penyidik polisi atau jaksa.

(U.A047/E001/S026)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010