Banda Aceh (ANTARA News) - Setelah bergerilya di medan tempur di Filipina dan Afganistan, selanjutnya serombongan teroris membangun kamp latihan militer di hutan kawasan pegunungan di Aceh Besar.

Jejak rekam sejumlah pria bersenjata yang sedang berlatih di hutan Jalin, Jantho Baru, di Aceh besar itu akhirnya tercium aparat kepolisian dan kini sisanya masih diburu Detasemen khusus (Densus 88) antiteror Polri karena mereka diklaim sebagai anggota jaringan teroris.

Dari mereka yang tertangkap di Aceh, Polri mengembangkan penyelidikan dan sejumlah orang dari jaringan mereka ditangkap dan tewas dalam penyergapan di beberapa wilayah, seperti Banten dan Jakarta. Operasi kepolisian juga menyebabkan orang yang paling dicari yakni Dulmatin, tewas di tangan polisi.

Kepala Kepolisian Negara RI (Kapolri), Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri, menyatakan bahwa para tersangka teroris yang hingga saat ini masih dikejar aparat kepolisian di Provinsi Aceh, merupakan kelompok Daftar Pencarian Orang (DPO) dari Jakarta.

"Para tersangka baik yang telah ditangkap maupun yang masih dalam pengejaran polisi adalah kelompok yang masuk dalam DPO karena terlibat dalam berbagai aksi bom di Jakarta," katanya.

Kapolri menegaskan bahwa mereka yang tertangkap, tewas dan masih dalam pengejaran aparat kepolisian di Aceh itu adalah terkait kasus peledakan bom, antara lain JW Marriot, Rizt Carlton di Jakarta, beberapa bulan lalu.

"Selain itu, kelompok teroris tersebut juga jaringan terkait rangkaian peledakan bom seperti bom Bali dan Bursa Efek Indonesia (BEI) Jakarta," jelas jenderal polisi itu.

Aparat kepolisian Polsek Leupung, menangkap delapan tersangka teroris dan dua anggota jaringan tersebut tewas ditembak karena hendak melarikan diri ketika dihentikan di depan Mapolsek tersebut.

Kapolri juga mengatakan pihak Polda Aceh telah mencium adanya sekelompok orang yang berlatih di Aceh berdasarkan laporan yang diberikan masyarakat di provinsi ujung paling barat Indonesia ini.

Berdasarkan laporan itu, Mabes Polri menugaskan Densus 88 untuk mendukung Polda Aceh guna mengungkap jaringan teroris tersebut. Berawal dari hutan kawasan Jalin itu, kemudian berkembang sampai penangkapan sejumlah tersangka lainnya di Pulau Jawa.

"Polri tidak pernah berhenti dan tidak ragu serta berkomitmen untuk menumpas jaringan teroris di seluruh Indonesia," tegas Bambang.

Kapolri menyatakan, pemerintah daerah, TNI dan Polri serta seluruh elemen masyarakat khususnya di Aceh mendukung upaya pengejaran terhadap jaringan teroris itu.

"Tahapan-tahapan itu terus dikembangkan dan terjadi operasi di sejumlah wilayah sampai ke Jakarta. Dulmatin juga tewas bersama dua anak buahnya dalam penyergapan di Pulau Jawa," tambah dia.

Hampir sebulan operasi pemberantasan jaringan teroris oleh aparat kepolisian di sejumlah wilayah di Aceh, pascapenggerebekan "sarang" pelatihan pria-pria bersenjata di pedalaman hutan Aceh Besar.

Berawal dari hutan kawasan Jalin, Jantho di Aceh Besar, dan puncaknya penangkapan 10 orang tersangka (dua di antaranya tewas di dor di ruas jalan Banda Aceh-Calang (Aceh Jaya)), tepatnya di depan Mapolsek Leupung (Aceh Besar) pada Jumat (12/3).

Namun, perburuan para tersangka teroris di Aceh belum usai karena aparat kepolisian menyatakan masih ada sejumlah nama yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Polda Aceh yang belum ditemukan.

Serahkan diri

Dua dari tujuh DPO ada yang menyerahkan diri, yakni Muktar dan Munir alias "Abu Rimba" menyerahkan diri. Kedua orang yang menyerahkan diri dan ikut membawa lima pucuk senjata api laras panjang dan pistol serta ratusan butir amunisinya ternyata warga Aceh.

Meski awalnya banyak pihak beranggapan para tersangka teroris itu bukan warga lokal, namun keberadaan dua pria yang menyerahkan diri (Mukhtar dan Munir) telah `mengubur" anggapan tersebut.

Beragam pendapat dan tafsiran berbeda muncul, setelah adanya oknum warga Aceh yang terlibat dalam jaringan terlarang itu.

Untuk menghindari salah tafsir terhadap sosok warga lokal yang terlibat dalam jaringan teroris, maka Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, berulang kali menegaskan tidak ada mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menjadi anggota teroris.

Tidak hanya gubernur, Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga menegaskan bahwa tidak ada eks GAM yang terlibat dalam jaringan teroris di Aceh.

Isu terorisme menggunakan wilayah Aceh sebagai tempat latihan tampaknya semakin menarik perhatian setelah peneliti senior Imparsial, Otto Syamsudin Ishak, menyatakan ada mantan anggota GAM terindikasi terlibat.

Ia menyatakan mantan anggota GAM yang tersisih dalam proses integrasi dengan RI, secara meyakinkan diduga terlibat dalam kegiatan terorisme yang terungkap di Aceh.

Dalam dialog "Perkembangan Terorisme dan Pelibatan TNI" yang digelar Imparsial di Jakarta, Jumat (19/3), dan disiarkan SKH terbitan Banda Aceh, Otto menjelaskan faktor-faktor yang menjadi alasan mengapa eks GAM sampai terlibat dalam aktivitas teroris tersebut.

"Pada intinya eks GAM adalah barisan sakit hati yang merasa dikhianati oleh temannya sendiri (eks GAM) yang memilih masuk ke dalam pemerintahan Republik Indonesia," papar Otto.

Menurutnya, hal itu sangat mudah sekali dimanfaatkan oleh jaringan terorisme yang menekankan bahwa sebetulnya perjuangan eks GAM sama dengan perjuangan jaringan teroris tersebut.

"Memang sebagian anggota teroris tersebut berasal dari Pulau Jawa dan daerah lain di luar Aceh . Namun untuk memfasilitasi dan mendukung aktivitas jaringan teroris tersebut di Aceh, tentu membutuhkan peranan orang lokal.

Di sinilah eks GAM yang tidak `dibawa` oleh eks GAM lain ke jajaran pemerintahan, berperan dalam aktivitas teroris di Aceh," jelas Otto.

Namun Otto mengakui, bukti konkret atas keterlibatan eks GAM memang belum ada. Tapi indikatornya sudah jelas. Bahkan, data temuan tersebut telah dikantongi oleh aparat terkait.

Pernyataan Otto Syamsudin itu kemudian dibantah Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf yang dengan tegas menolak jika ada mantan kombatan GAM terlibat dalam kegiatan terorisme.

Bahkan, pernyataan Otto Syamsudin itu sebagai statement yang tendensius dan tidak faktual. "Itu jelas tendensius dan tidak faktual. Sebaiknya Otto menarik lagi pernyataannya itu atau rakyat Aceh akan marah," kata Irwandi Yusuf.

Hentikan polemik

Menyikapi pernyataan Otto dan Irwandi Yusuf terhadap sosok oknum warga Aceh sebagai tersangka teroris itu ditanggapi anggota Komisi III DPR, HM Nasir Djamil, yang meminta semua pihak agar menghentikan berpolemik tentang hal tersebut.

"Saya berharap silang pendapat tentang apakah mantan GAM, baik itu disebut `barisan sakit hati` atau bukan yang dinyatakan terlibat dalam jaringan teroris di Aceh itu sebaiknya dihentikan," katanya.

Sebaiknya pemerintah dan seluruh elemen masyarakat berkosentrasi dan bertanggungjawab untuk menjadikan kasus terorisme di Aceh guna melakukan langkah-langkah responsif, antisipatif dan korektif.

"Artinya kita responsif, antisipatif dan korektif terhadap pemahaman Islam yang cenderung disalahgunakan dan dipahami tidak sesuai dengan keyakinan `Ahlusunnah waljamaah` yang dianut masyarakat Aceh," katanya menambahkan.

Menurut dia, sistem sosial di Aceh saat ini sedang "sakit parah". Karenanya, momentum terorisme di Aceh harus dijadikan langkah untuk memperbaiki sistem sosial tersebut.

"Saya berkeyakinan bahwa para teroris yang merupakan kelompok `Banten` tersebut ingin menganggu kebijakan Amerika Serikat di Aceh," jelas Nasir Djamil yang juga Ketua Forum bersama (Forbes) anggota DPR-DPD RI asal Aceh itu.

Seperti diketahui, katanya, pascatsunami 26 Desember 2004, orang asing berduyun-duyun datang ke Aceh dan mereka juga ikut melakukan "pencemaran" sosial dalam kehidupan orang Aceh.

Menurutnya, dalam pandangan teroris, AS adalah simbol orang asing yang datang ke Aceh dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi provinsi ujung paling barat Indonesia tersebut.

"Hajat para teroris ini bertemu dengan kelompok-kelompok yang muak melihat melihat fenomena tersebut di Aceh," katanya menjelaskan.

Jika ada masyarakat Aceh yang terlanjur terpengaruh dalam jaringan teroris atau kelompok radikal maka diimbau agar menyerahkan diri kepada aparat berwajib, kata Wakil gubernur (Wagub) Muhammad Nazar.

Ia menyatakan aparat keamanan, Pemerintah Aceh, kaum ulama dan seluruh elemen masyarakat sudah sepakat menolak paham-paham radikalisme.

Menurut Nazar, orang-orang yang terlibat jaringan teroris termasuk sejumlah warga Aceh itu merupakan pribadi yang kurang paham tentang agama.

"Jangan kaitkan agama dengan isu-isu terorisme. Agama Islam jelas melarang keras melakukan aksi-aksi teror tersebut, termasuk bunuh diri," tambahnya.

Wagub juga menilai isu terorisme saat ini menjadi "seksi" karena terjadi di Aceh, padahal mereka-mereka yang terlibat dalam jaringan radikal tersebut sebagian besar dari Pulau Jawa, termasuk Jakarta.

Muhammad Nazar juga menyatakan pihaknya dalam waktu dekat akan membicarakan masalah adanya aksi terorisme di Aceh dengan para ulama dari berbagai daerah di provinsi ujung paling barat Indonesia tersebut.

"Islam tetap Islam, jangan ada pihak memanfaatkan agama untuk melakukan teror. Islam itu agama yang `Rahmatan Lillalamin` atau menjadi rahmat bagi sekalian alam. Jadi, tidak heran jika paham radikalisme yang mereka bawa ditolak dan akhirnya tersandung di Aceh," katanya menambahkan.
(T.A042/J006/P003)

Oleh Oleh Azhari
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010