Jakarta (ANTARA News) - Buku berjudul "Uninhibited, Robust, and Wide-Open; A Free Press for A New Century" mencerminkan kebebasan pers Amerika dan mencari bentuk pers yang sesuai di era globalisasi, kata dosen Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) Warief Djajanto Basori.

"Buku ini dapat dijadikan rujukan untuk mengamati bagaimana perkembangan kebebasan pers di dunia, namun belum sampai tahap jadi pakem atas kebebasan pers karena negara Amerika adalah negara yang paling banyak disoroti," kata Warief Djajanto dalam bedah buku "Uninhibited, Robust, and Wide-Open; A Free Press for A New Century", di kantor ANTARA, Jakarta, Jumat.

Dalam acara bedah buku yang dibuka oleh Wapempelred Perum LKBN ANTARA Akhmad Kusaeni, Warief menilai esensi dari buku yang ditulis Lee C. Bollinger mengemukakan pentingnya "First Amendement" untuk melindungi kebebasan pers di Amerika.

"First Amendement" atau Amandemen Pertama merupakan undang-undang di Amerika Serikat pada tahun 1964 yang mengatur tentang kebebasan berbicara, pers, beragama, berserikat, dan hak melakukan petisi.

Namun, lanjut Warief, hal itu belum tepat jika diaplikasikan di Indonesia karena cenderung ditujukan ke pembaca Amerika sehingga pendekatan liberal dan kapitalis kurang diterapkan.

"Tiga kata yang dijadikan judul buku ini, yakni "uninhibited", "robust", dan "wide-open" merupakan kata-kata populer dalam Mahkamah Agung Amerika ketika terjadi perang antara `New York Times` dengan Sullivan," tutur Warief.

Manajer ANTARA School of Journalism Maria D. Adriana menambahkan, Bollinger menyebut kebebasan pers saat ini sedang menghadapi tahapan baru dalam perkembangannya.

"Bollinger mengajak pembacanya untuk memikirkan langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam menyikapi tantangan dan perubahan yang terjadi dengan mengupas contoh kasus menyangkut kewartawanan dan kebebasan pers," ujar Maria.

Menurut Maria, buku karangan penggagas "First Amendement" ini dibagi menjadi tiga bagian.

Pada bagian pertama diceritakan tentang kebebasan pers di Amerika Serikat yang sering dijadikan acuan di negara lain, serta pergeseran nilai kebebasan.

Bagian kedua buku setebal 210 halaman yang bertajuk "It Is an Experiment" ini, membahas banyak kasus kebebasan di AS, termasuk proses peradilan dan sistem hukum yang berlaku.

Bagian ketiga yang diberi judul "Regardless Frontier" berisi tentang benturan yang terjadi di tengah kebebasan pers yang didukung oleh perkembangan-perkembangan informasi dan mempengaruhi sikap masyarakat.

Dalam forum yang sama, Deputi Direktur Yayasan Sains, Estetika, dan Teknologi Agus Sudibyo berpendapat, globalisasi dan teknologi memang mempengaruhi perkembangan pers.

"Namun, hal utama yang paling berpengaruh adalah bagaimana pelaksanaan kebebasan pers dalam negara itu sendiri," tutur Agus Sudibyo.

Menurut Agus, penghargaan seluruhnya diberikan kepada khalayak karena hak tertinggi dari kebebasan tersebut berada di tangan khalayak, bukan pemilik modal. Akan tetapi, lanjut Agus, justru informasi dikendalikan oleh pemilik modal.

Waried dalam kata akhir penyampaian bedah buku itu memberikan masukan agar buku tersebut baik untuk dibaca.

"Saya memberikan nilai baik dan merekomendasi agar buku tersebut dibaca," katanya. (RFG/K004)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010