Surabaya (ANTARA News) - Sore itu, Jumat, 26 Maret, pengunjung dan manajemen Hotel Oval, Jalan Diponegoro, Surabaya, dikejutkan oleh ratusan orang berbaju gamis dan berjubah putih yang menyatroni hotel itu.

Mereka bukan hendak menginap. Mereka mencari sekelompok orang yang dinilainya "najis" karena menyelenggarakan kegiatan yang dianggap merusak moral bangsa, agama dan budaya ketimuran.

Raut mereka tegang memendam amarah, setelah sebelumnya merasa dibodohi sekelompok orang yang kemudian diketahui kaum penyuka sesama jenis --gay dan lesbian-- dan biseks.

Orang-orang bergamis itu berasal dari ormas-ormas Islam yang tergabung dalam Forum Umat Islam (FUI) Jawa Timur.

Mereka mendatangi Hotel Oval karena mengetahui hotel itu menjadi tempat konferensi gay, lesbian, dan biseksual tingkat Asia keempat, "International Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender dan Intersex Association (ILGA)."

Massa FUI Jatim merasa dibodohi pengurus perkumpulan `gay` dan lesbian, GAYa Nusantara, yang juga panitia ILGA ke-4. Jauh-jauh hari FUI Jatim telah mengingatkan agar kegiatan yang semula akan digelar di Hotel Mercure, Surabaya, pada 26-28 Maret 2010 itu tidak digelar di kota mereka, dengan pertimbangan merusak budaya timur dan bertentangan dengan agama.

FUI merasa imbauannya dianggap angin lalu oleh panitia ILGA, padahal mereka telah dijanjikan panitia bahwa tempat acara akan dipindahkan ke luar Surabaya, salah satunya Yogyakarta.

Tak tahunya, sekitar 130 peserta ILGA tetap menggelar pertemuan di Hotel Oval, yang diakui GAYa Nusantara hanya "ghatering" atau pertemuan biasa.

Kontan saja, massa FUI Jatim yang terdiri dari Front Pembela Islam (FPI) Surabaya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jatim dan sejumlah ormas Islam, berang karena merasa ditipu oleh kaum homoseksual ini.

"Kami ditipu mereka. Untuk itu, kami meminta mereka segera membubarkan diri," kata Kordinator FUI Jatim, Arukat Jaswadi.

Tuntutan Arukat dibarengi oleh serbuan massa FUI Jatim ke Hotel Oval sekitar 15.00 WIB. Mereka bersitegang dengan panitia ILGA, bahkan sempat berbalas pukul.

Untung saja polisi cepat turun tangan, untuk kemudian mengambil sejumlah aktivis FUI yang berbuat onar. Namun di luar hotel, massa FUI terus memaksa masuk ke hotel. Mereka bakan memukul pintu kaca hotel, kendati tidak sampai pecah.

Sebelumnya, massa FUI mendatangi kantor GAYa Nusantara di Jl. Mojo Kidul I, Surabaya. Awalnya hendak menemui ketua pelaksana kongres agar membatalkan acara mereka. Tapi, karena tak ada seorang pun di sana, mereka menjadi anarkis, mencorat-coret kantor GAYa Nusantara dan menyegelnya dengan gembok.

"Jika acara itu tidak dibubarkan maka kami tidak akan segan-segan membubarkan acara tersebut dengan cara paksa," kata Arukat, diamini semua anggota FUI.

Sepakat

Massa FUI akhirnya bersedia meninggalkan Hotel Oval setelah panitia ILGA mengalah meninggalkan Kota Surabaya Jumat malam itu juga, menyusul kesepakatan yang telah mereka buat beberapa saat sebelumnya. Massa FUI Jatim pum meninggalkan Hotel Oval.

"Namun, masih ada beberapa perwakilan dari tujuh elemen yang tergabung dalam FUI yang menunggu sampai semua peserta konferensi gay meninggalkan hotel," kata Koordinator FUI Jatim Farukat Jaswadi.

Berdasarkan kesepakatan itu, peserta lokal atau dari Indonesia harus pulang Jumat malam itu juga, sedangkan peserta asing masih diberi toleransi waktu untuk mengurus tiket pesawat dan lainnya.

Kapolresta Surabaya Selatan AKBP Bahagia Dachi menyaksikan langsung kesepakatan itu, dan polisi berkomitmen menjaga keselamatan peserta kongkres.

"Untuk peserta lokal kami sudah menyarankan untuk pulang hari ini juga, sedangkan untuk peserta dari luar negeri masih butuh waktu untuk pengurusan tiket pesawat dan lainnya," kata Bahagia.

Bahagia menolak menyebut tindakan polisi ini sebagai evakuasi. "Apanya yang dievakuasi? Mereka hanya pulang ke rumahnya masing-masing. Itu saja," katanya.

Polisi, katanya, wajib menjaga keselamatan siapapun, tanpa kecuali.

Sementara Ketua GAYa Nusantara Rafael Hendrikus Da Costa menyesalkan penolakan ILGA oleh sejumlah Ormas Islam dan menyebut tindakan itu melanggar HAM. "Katanya negara kita harus menjunjung tinggi HAM, tapi hal itu tidak dirasakan oleh lesbian dan gay," kecamnya.

Padahal, kegiatan-kegiatan yang kaum homoseksual sepanjang ILGA itu bersifat sosial, seperti pelayanan kesehatan.

Kekecewaan sama diutarakan seorang peserta ILGA, BJD Gayatri, yang menyebut penolakan itu sebagai bukti bahwa Indonesia tidak sepenuhnya mempraktikan demokrasi.

"Buktinya, mereka belum bisa memahami arti HAM. Jika mereka memahami, tentunya konferensi ini tidak dilarang," tuturnya.

Gayatri kecewa dan tidak bisa menerima perlakukan massa FUI itu. "Apalagi mereka bilang kita ini tidak mewakili budaya Indonesia, padahal mereka pakai jubah, jubah itu budaya mana," sindirnya.

Gayatri lalu meminta polisi menjamin keselamatan mereka. "Kalau polisi tunduk pada segelintir orang yang tidak mengerti HAM, apa jadinya negara ini?" katanya.

Gayatri prihatin dan khawatir, "sweeping" segelintir massa FUI ini menjadi preseden buruk yang menjelekkan citra Indonesia di mata international, apalagi peserta konferensi berasal dari berbagai negara Asia.

Mengenai hal ini, pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Airlangga Pribadi menilai, meski Indonesia telah sepuluh tahun menapaki demokrasi, pengusiran dan penghinaan dari sekelompok orang terhadap kelompok lain yang tidak sepaham masih saja terjadi, dan ironisnya negara mendiamkannya.

Faktanya, Pemkot Surabaya dan Polwiltabes Surabaya sendiri tidak memberikan izin untuk konferensi kaum homoseks itu. Artinya, kegiatan di Hotel Oval itu "liar".

"Saya teringat akan wajah muram dari catatan kebiadaban publik di republik ini. Dengan mudahnya pengusiran, penistaan dan penghinaan terjadi di republik ini, ketika pada saat bersamaan kita mengaku tengah mengadopsi konsep kewargaan yang inklusif," ujarnya.

Dalam narasi besar keindonesiaan yang terbuka ini, kekerasan dan diskriminasi masih kerap menimpa kaum minoritas, termasuk kaum gay dan lesbian.

Untuk itu, karena Indonesia adalah rumah terbuka untuk semua orang di dalamnya, agaknya tidak berlebihan jika mereka yang dipinggirkan dan ditekan mayoritas itu, memperoleh juga pembelaan yang layak, termasuk dari pemerintah.(*)

A052*C004/AR09

Oleh Abdul Hakim
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010