Kandahar (ANTARA News/Reuters) - Satu bom yang dikendalikan dari jarak jauh meledak di dekat keluarga yang sedang berwisata di Afghanistan selatan, Rabu, menewaskan sedikitnya 13 orang dan mencederai sekitar 40, kata beberapa pejabat pakta pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan Afghanistan.

Laporan-laporan sebelumnya dari daerah itu mengatakan, seorang penyerang bom bunuh diri yang berjalan kaki menyulut ledakan di dekat sekelompok pejabat daerah yang sedang membagikan bibit tanaman kepada warga desa sebagai bagian dari program untuk membujuk penduduk tidak menanam opium.

Seorang pejabat NATO dan seorang jurubicara gubernur provinsi di Helmand mengatakan, 13 orang tewas dan 40-45 orang cedera dalam ledakan itu.

Pejabat NATO itu mengatakan, sebuah helikopter militer menerbangkan orang-orang Afghanistan yang cedera dari lokasi kejadian, beberapa diantaranya tewas kemudian akibat luka-luka mereka.

Ia menambahkan, peristiwa itu terjadi di sebuah distrik provinsi Helmand -- di Nahr-e-Saraj atau Gereshk.

Di masa silam, Taliban mengklaim bertanggung jawab atas serangan-serangan di Afghanistan, dimana mereka memimpin pemberontakan terhadap pemerintah Afghanistan dan pasukan asing.

Tahun lalu, menurut PBB, sejumlah besar warga sipil tewas dalam perang itu, sebagian besar akibat serangan bom gerilyawan.

Para komandan NATO telah memperingatkan negara-negara Barat agar siap menghadapi jatuhnya korban karena mereka sedang melaksanakan strategi untuk mengakhiri perang delapan tahun di negara itu.

Marinir AS saat ini memimpin 15.000 prajurit AS, NATO dan Afghanistan dalam Operasi Mushtarak yang bertujuan menumpas militan, yang diluncurkan menjelang fajar Sabtu (13/2) untuk membuka jalan agar pemerintah Afghanistan bisa mengendalikan lagi daerah Helmand penghasil opium.

Ofensif itu dikabarkan mendapat perlawanan sengit dari Taliban, yang melancarkan serangan-serangan dari balik tameng manusia dan memasang bom pada jalan, bangunan dan pohon.

Presiden Hamid Karzai memperingatkan bahwa pasukan harus melakukan semua langkah yang diperlukan untuk melindungi warga sipil.

Saat ini terdapat lebih dari 120.000 prajurit internasional, terutama dari AS, yang ditempatkan di Afghanistan untuk membantu pemerintah Presiden Hamid Karzai mengatasi pemberontakan yang dikobarkan sisa-sisa Taliban.

Taliban, yang memerintah Afghanistan sejak 1996, mengobarkan pemberontakan sejak digulingkan dari kekuasaan di negara itu oleh invasi pimpinan AS pada 2001 karena menolak menyerahkan pemimpin Al-Qaeda Osama bin Laden, yang dituduh bertanggung jawab atas serangan di wilayah Amerika yang menewaskan sekitar 3.000 orang pada 11 September 2001.

Pasukan Bantuan Keamanan Internasional (ISAF) pimpinan NATO berkekuatan lebih dari 84.000 prajurit yang berasal dari 43 negara, yang bertujuan memulihkan demokrasi, keamanan dan membangun kembali Afghanistan, namun kini masih berusaha memadamkan pemberontakan Taliban dan sekutunya.

Kekerasan di Afghanistan mencapai tingkat tertinggi dalam perang lebih dari delapan tahun dengan gerilyawan Taliban, yang memperluas pemberontakan dari wilayah selatan dan timur negara itu ke ibukota dan daerah-daerah yang sebelumnya damai.

Delapan tahun setelah penggulingan Taliban dari kekuasaan di Afghanistan, lebih dari 40 negara bersiap-siap menambah jumlah prajurit di Afghanistan hingga mencapai sekitar 150.000 orang dalam kurun waktu 18 bulan, dalam upaya baru memerangi gerilyawan.

Sekitar 520 prajurit asing tewas sepanjang 2009, yang menjadikan tahun itu sebagai tahun paling mematikan bagi pasukan internasional sejak invasi pimpinan AS pada 2001 dan membuat dukungan publik Barat terhadap perang itu merosot.

Gerilyawan Taliban sangat bergantung pada penggunaan bom pinggir jalan dan serangan bunuh diri untuk melawan pemerintah Afghanistan dan pasukan asing yang ditempatkan di negara tersebut.

Bom rakitan yang dikenal sebagai IED (peledak improvisasi) mengakibatkan 70-80 persen korban di pihak pasukan asing di Afghanistan, menurut militer.
(Uu.M014/P003)

Pewarta:
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010