Paris (ANTARA News/AFP) - Sengketa atas kegiatan nuklir Iran sebaiknya diselesaikan lewat diplomasi, kata Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan dalam wawancara yang diterbitkan Selasa oleh koran Prancis "Le Figaro".

"Kami menilai bahwa urusan ini harus dipecahkan lewat upaya diplomatik," kata Erdogan, yang memulai kunjungan resmi dua hari ke Prancis pada Selasa, kepada koran itu.

Walaupun beberapa negara berbicara dengan istilah hukuman, ia menyatakan cara itu ia pikir tidak membawa hasil.

Hukuman sudah diputuskan melalui dua kali pemungutan suara, tapi yang memutuskan untuk menerapkannya juga adalah yang pertama melanggarnya, katanya.

"Ada Prancis, Jerman, Inggris, Amerika Serikat dan China. Mereka terlibat dan masih mengelola, meski tak langsung, untuk memasukkan produk mereka ke Iran," katanya.

"Kami tidak bisa menghapuskan kenyataan itu," katanya.

Setidak-tidaknya, satu negara di wilayah itu sudah memunyai senjata nuklir, tambahnya, merujuk pada Israel.

"Saya tidak melihat mengapa orang dihambat dengan masalah itu," katanya.

Iran di bawah peningkatan tekanan beberapa negara untuk meninggalkan kegiatan nuklirnya, dengan Barat khawatir negara itu akan membuat bom atom.

Teheran menyatakan kegiatan itu damai dan hanya untuk menghasilkan daya.

Iran dan China sepakat di Beijing bahwa hukuman terhadap Iran terkait kegiatan nuklirnya tidak bermanfaat, kata kepala perunding nuklir Iran, Saeed Jalili, pada pekan lalu, setelah bertemu dengan menteri luar negeri China dan pejabat lain di Beijing.

"Dalam pembicaraan kami dengan China telah disepakati bahwa alat, seperti, hukuman, tidak akan berhasil," kata Jalili dalam jumpa pers di ibukota China itu melalui penerjemah.

Ia menyatakan Iran tak bisa menerima ancaman hukuman untuk menekan Teheran berkaitan dengan penawaran bahan bakar nuklir, yang didukung Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Saat ditanya apakah Cina akan mendukung hukuman atas Iran berkaitan dengan kegiatan nuklirnya, ia menegaskan, "Itu terserah pada Cina untuk menjawabnya."

Amerika Serikat menyatakan enam negara besar, termasuk Cina dan Rusia, sepakat mengenai kemungkinan putaran baru hukuman terhadap Iran berkaitan dengan kegiatan nuklirnya.

Beijing tidak menanggapi langsung apakah mendukung larangan lanjutan terhadap Iran, namun diplomat menurunkan ungkapan pada awal tahun ini bahwa hukuman tersebut tidak menawarkan penyelesaian mendasar.

Menteri Luar Negeri Cina Yang Jiechi menyeru sikap lebih luwes dalam perundingan dengan Jalili, kata kantor berita Cina Xinhua.

Beijing, seperti juga Moskwa, enggan mendukung tiga putaran hukuman Perserikatan Bangnsa-Bangsa sebelumnya terhadap Teheran untuk menghentikan pengayaan uranium seperti yang dituntut lima resolusi Dewan Keamanan badan dunia tersebut.

Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad pada awal Maret menyatakan tekanan dunia tentang hukuman baru bagi Iran membuat Republik Islam itu lebih nekad daripada sebelumnya untuk mewujudkan kegiatan nuklirnya.

Ahmadinejad juga menekankan kembali pandangannya bahwa timpalannya dari Amerika Serikat, Barack Obama, tidak berhasil dalam mewujudkan perubahan "nyata", yang dijanjikannya.

"Makin mereka menunjukkan kebencian terhadap kami, makin nekad Iran akan bergerak maju," katanya.

Ahmadinejad memberikan pidato di kota selatan, Sirjan, saat Obama berjanji membangun tekanan dunia pada Teheran guna menghentikan upaya negara itu membangun nuklir, yang didorong kuat di bawah kepemimpinan presiden garis keras tersebut.
(B002/R009)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010