Jakarta, 9/4 (ANTARA) - Kendala utama saat ini dalam industrialisasi rumput laut adalah masalah penyuluh dan ketersediaan bibit yang berkualitas?, demikian disampaikan oleh Martani Husaeni, Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP), saat acara Launching SEABFEX III di Jakarta (31/3). Dengan tidak adanya penyuluh, maka para pembudidaya rumput laut bisa salah menangani produk rumput laut, sehingga bercampur pasir, atau memanen hasil lebih awal dari yang seharusnya. Para penyuluh juga diharapkan dapat menjadi penghubung antara produsen dengan pembeli atau pemilik industri.

     Bibit rumput laut juga memang menjadi masalah kunci dalam pengembangan rumput laut. Bibit yang kurang berkualitas menghasilkan rumput laut yang berkadar keraginan lebih rendah. Farid Ma?aroef, Ketua Komisi Rumput Laut Indonesia, mengatakan bahwa kesalahan pola budidaya rumput laut di Indonesia saat ini adalah mengambil bibit rumput laut berkualitas, untuk dimanfaatkan langsung dalam produksi. Hal ini pada musim tanam berikutnya, komoditi yang berusia tanam hanya 45 hari ini, akan terpaksa mencari atau mengambil bibit
berkualitas lagi dari jarak yang jauh dan mahal oleh biaya transportasi.

     Saat ini bibit rumput laut yang bagus berasal dari Propinsi Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan. Indonesia sebagai negeri kepulauan yang saat ini perlu pemuliaan bibit rumput laut, telah dilakukan di berbagai tempat yang terpencar, misalnya di Sulawesi Selatan, Bangka Belitung, Lampung, Kalimantan Timur, Maluku dan Papua. Dengan demikian maka para pembudidaya rumput laut senantiasa untuk memperoleh bibit yang berkualitas tidak sulit, mudah dan murah.

     Produksi rumput laut kering saat ini di dunia sekitar 1,2 milyar ton per tahun. Seperempatnya, yakni sekitar 290 ribu ton berasal dari daerah tropis, terutama Indonesia (50%) dan Filiphina (35%). Semula produksi  rumput laut memang banyak dari wilayah sub tropis. Di wilayah sekitar khatulistiwa mulai berkembang sejak tahun 1975. Namun kalau dilihat produksi kerajinan, pada tahun 2007 telah menunjukkan Filiphina memiliki kapasitas tertinggi yakni
34,5 ribu ton (41%),Indonesia 17 ribu ton (20%), China 9 ribu ton (11%)sedangkan dibawahnya adalah AS dan Amerika Selatan, masing-masing 4,4 ribu ton (5%).

     Di Indonesia sendiri rumput laut banyak dihasilkan di Sulawesi Selatan, dengan produksi basah pada tahun 2008 sebanyak 690.385 ton, diikuti oleh Nusa Tenggara Timur 566.495 ton, Sulawesi Tengah 208.040 ton dan Bali 170.860 ton. Produksi dari seluruh Indonesia rumput laut basah adalah 1,94 Juta ton, hanya 15% yang diolah di dalam negeri untuk menjadi keraginan. Hal ini jauh dari produksi keraginan di Indonesia yang saat ini produktif adalah 12 perusahaan.

     Disamping penyuluhan dan bibit, permasalahan lain yang dihadapi dalam pengembangan rumput laut adalah tidak adanya stabilitas suplai bahan baku untuk industri rumput laut, tata ruang budidaya,kelemahan tata niaga, bahkan saat ini ada "problem" baru, yakni pembeli dari Cina yang merambah sampai lapangan, terhadap bahan mentah rumput laut.Semuanya itu diharapkan dapat dibantu dan dicari solusinya dalam "Seaweed International Business Forum and Exhibition (SEABFEX) "III yang akan diselenggarakan di Surabaya tanggal 14-17 Juli 2010 yang akan datang.

     Untuk keterangan lebih lanjut, silakan menghubungi Dr. Soen'an H. Poernomo, M.Ed, Kepala Pusat Data, Statistik, dan Informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, HP.0816193391


Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2010