Bogor (ANTARA News) - Pakar kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Ir Ricky Avenzora, MScF mengemukakan, suatu kolaborasi kelembagaan antara BUMN kehutanan dengan LSM dan swasta perlu dipertimbangan guna menyerap peluang dana International Climate Investment Fund (CIF) sebesar 80 juta dolar AS.

"Dana CIF sebesar 80 juta dolar AS di satu sisi bisa dipandang sebagai peluang bagi proses perbaikan tegakan hutan dan kehutanan diIndonesia, tapi di sisi lain harus dicermati dan diawasi peminjaman dan pemakaiannya," katanya pada ANTARA di Bogor, Jumat.

Hal itu dikemukakan, terkait pernyataan Kementerian Kehutanan melalui Staf Ahli Menhut bidang kelembagaan Hadi Susanto Pasaribu, Selasa (6/4), yang mengundang pengusaha kehutanan memanfaatkan pembiayaan program investasi kehutanan yang dilaksanakan CIF dengan bunga maksimal 0,25 persen per tahun.

"Pendanaan sebesar 80 juta dolar AS tersebut terbuka untuk semua kegiatan bisnis kehutanan yang terkait dengan program Pengurangan Emisi dari Degradasi dan Kerusakan Hutan (REDD plus)," katanya.

Ia mengatakan, kegiatan yang bakal dibiayai termasuk pengelolaan hutan produksi lestari, penyimpanan dan peningkatan karbon di hutan  produksi, pembangunan hutan tanaman di areal yang terdegradasi serta pembangunan hutan rakyat.

CIF mengalokasikan dana 80 juta dolar yang diperuntukkan bagi pengusaha sektor kehutanan dengan bunga maksimum 0,25 persen per tahun untuk mengembangkan proyek pengurangan emisi karbon.

"Pembiayaan yang disalurkan dikenakan bunga sangat rendah, maksimum 0,25 persen per tahun. Pembiayaan yang sudah dikucurkan juga bisa dihapus dari beban bunga seandainya kegiatan yang dijalankan dinilai berhasil dalam pengurangan emisi, namun tidak secara bisnis," katanya.

Ia menjelaskan, dana program tersebut berasal dari sejumlah negara donor dan lembaga perbankan multilateral di antaranya Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB).

"Bulan (April) ini, tim dari CIF akan datang untuk bersama-sama menyusun strategi investasi yang akan dijalankan. Untuk itu kami mengundang para pelaku bisnis bisa
ikut terlibat," katanya.

CIF merupakan kolaborasi antara bank-bank pembangunan multilateral dan negara-negara donor yang bertujuan menjembatani kurangnya pembiayaan pada kegiatan pencegahan perubahan iklim yang belum tertangani pada skema-skema yang saat ini sudah ada, seperti Global Environment Facility (GEF), Forest Carbon Partnership Facility (FGPF) dan dan skema yang dikembangkan UNFCCC (Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim).



Harus diawasi

Menurut Ricky Avenzora, dana CIF tersebut tetap harus dicermati, karena meski berbunga relatif murah tapi harus diingat bahwa dana itu berupa pinjaman yang harus dikembalikan, kata doktor lulusan "George August Universitaet" Gottingen Jerman itu.

Perlunya pengawasan itu, juga disampaikan Ir Taufiq Alimi dari Dewan Kehutanan Nasional (DKN).

"Dana (CIF) ini agak memiliki keleluasaan dalam tata cara penggunaannya, sehingga Indonesia harus berinisiatif masuk dengan agenda yang jelas, apalagi Indonesia menjadi proyek percontohan," katanya.

Senada dengan Ricky Avenzora, ia melihat bahwa dana CIF di satu sisi akan menguntungkan bagi upaya pembangunan sektor kehutanan, namun di sisi lain pengalaman untuk negara berkembang, keleluasaan tata cara penggunaannya selalu tersirat syarat-syarat yang diinginkan seperti transparansi dan bebas konflik kepentingan.(A035/R009)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010