Jakarta (ANTARA News) - Apakah orang kalah harus mempertanggungjawabkan kekalahannya? Ini pertanyaan mendasar di dunia politik kita sekarang. Faktanya, hanya sedikit partai politik atau elite politik yang bersedia mempertanggungjawaban kekalahannya kepada masyarakat.

Jangankan bertanggungjawab, mengucapkan terimakasih kepada konstituen pemilihnya dan meminta maaf karena pilihan itu tidak membuatnya menang pun, merupakan barang langka.

Ucapan terimakasih kasih datang dari mereka yang menang, tak jarang disampaikan dengan pesta megah nan meriah. Rakyat lalu mengelu-elukannya.

Sebaliknya, yang kalah sulit menerima kekalahan, meski sebelum pemilu mereka dengan gagah berjanji siap menang siap kalah.

Di bawah kondisi itu, ada seorang politisi muda yang menentang tradisi itu dengan membuat buku dan menyampaikan pertanggunjawabannya atas tiga kekalahan yang dialaminya dan partainya.

Anak muda itu Indra Jaya Piliang. Dia anak orang biasa yang lahir 19 April 1972 di Kampuang Perak, Pariaman, Sumatera Barat. Sebelum kuliah, dia adalah penjual sate padang di Jalan Kunir, Jakarta Kota. Dia sempat menjadi pesuruh di CSIS sebelum akhirnya menjadi salah satu peneliti di lembaga pengkajian terkemuka itu.

Indra menyampaikan pertanggungjawabannya atas kekalahan pada pemilihan anggota DPR RI 9 April 2009, pemilihan presiden dan wakil presiden 8 Juli 2009, dan pemilihan ketua umum Partai Golkar 7 Oktober 2009.

Indra tidak terpilih menjadi anggota DPR RI dari daerah kelahirannya, Sumatera Barat). Dia juga kalah seiring kalahnya JK-Wiranto dalam pemilihan presiden dan wakil presiden lalu. Selain pendukung setia pasangan itu, Indra adalah salah satu juru bicara dan juru debat di sejumlah forum bagi pasangan itu selama kampanye. Terakhir dia kalah ketika mengusung Yuddy Chrisnandi menjadi ketua umum Partai Golkar.

Indra menulis pertanggungjawabannya itu dalam buku setebal 568 halaman berjudul "Mengalir Meniti Ombak, Memoar Kritis Tiga Kekalahan", terbitan Ombak, Yogyakarta, 2010.

Dia memberi alasan mengapa menggunakan kata mengalir, meniti dan ombak untuk judul bukunya. Dia juga memberi alasan mengapa memoar itu ditulis ringan, tidak berat seperti penulisan sejarah yang menjadi bidang studinya saat menempuh kesarjanaannya di Universitas Indonesia.

Di buku bersampul biru muda, berlatar ombak dan foto wajah dominan agak narsis itu, Indra menuliskan perjalanan hidupnya, sejak lahir, kemudian menempuh pendikan dasarnya hingga SMA di Pariaman, lalu berkuliah di jurusan Sejarah, UI.

Dia kemudian bekerja di CSIS sebagai analis politik, dan akhirnya terjun ke politik praktis sebagai politikus Partai Golkar.

Indra menyajikan banyak fakta dan data dalam bukunya, termasuk klarifikasi atas "selebaran gelap" berisituduhan isteri Boediono (waktu itu cawapres) beragama Katolik.

Indra menjawab tuduhan keterlibatan pasangan JK-Wiranto dalam tuduhan itu dengan memuat kronologi peristiwa dan membeberkan bahwa selebaran itu adalah kopian Tabloid Indonesia Monitor.

Kopian berita itu adalah isiwawancara media itu dengan Presiden Ikhwanul Muslimin Indonesia Habib Hussein Al-Habsyi yang dimuat di halaman 6 edisi 3-9 Juni 2009 majalah itu dan wawancara dengan Prof. Dr. Suparman, Direktur Pascasarjana Universitas Tarumanegara di halaman 7 dalam judul "Dia Kejawen, Standarnya Beda".

Dari sekian detil di buku ini, ternyata banyak detil yang tidak dimuat Indra, seperti latar belakang lahirnya slogan "Lebih Cepat, Lebih Baik."

Indra sempat berkilah yang layak menjelaskan itu adalah Jusuf Kalla sendiri, tapi karena Kalla tidak menghadiri peluncuran kedua buka Indra --satunya lagi "Bouraq-Singa Kontra Garuda, Pengaruh Sistem Lambang Dalam Separatisme GAM Terhadap RI"-- dia pun akhirnya menjelaskannya.

Slogan JK-Wiranto itu muncul setelah Jusuf Kalla menjalani operasi di luar negeri karena dia sering mengalami migren.

Setelah menjalani operasi, kata Indra, JK muncul dengan ide-ide cemerlang, termasuk slogan "Lebih Cepat, Lebih Baik" yang kini banyak digunakan orang untuk mendorong seseorang atau sekelompok orang tidak menunda pekerjaan.

Dana kampanye

Ada lagi yang tidak dimuat Indra, tetapi dibeberkannya saat peluncuran kedua bukunya, yakni pertanggungjawaban keuangan.

Menurutnya, KPK seharusnya mempertanyakan dana kampanye para mantan calon anggota DPR, DRPD, DPD dan partai-partai yang kalah.

Namun, apa menariknya membahas kaum yang kalah. Tidak ada hegemoni yang digugat dan tak ada kekuasaan yang harus dijatuhkan dari mereka. Bahasa gaulnya "tidak seksi" karena masyarakat tak menaruh perhatian kepada mereka lagi.

Indra lain. Dia menyebut mereka, sang politisi kalah itu, telah belajar bagaimana menyiasati perundang-undangan tentang pengumpulan dan penggunaan dana kampanye.

Indra sendiri mengaku telah menghabiskan Rp1 miliar untuk kampanye pemilihan anggota DPR RI. 30 persen dari dana kampanye itu diantaranya berasal dari uang pensiunnya sebagai analis politik CSIS. Sisanya, dia dapatkan dari sumbangan pengusaha, pejabat gubernur, bupati dan wakilnya, pengusaha, aktivis, sesama politisi, juga mahasiswa.

Dengan bangga dia menyebutkan sumbangan dari seorang mahasiswa yang hanya Rp250.000, senilai satu spanduk.

Menurutnya, politisi itu selayaknya disumbang konstituennya, bukan memberi sumbangan kepada konstituen agar memilihnya saat pemilu.

Loginya begini, jika politisi memberi sesuatu pada konstituen saat kampanye, maka yang terjadi adalah suburnya praktik politik uang dan ketika berkuasa politisi itu akan berusaha keras mengembalikan dana yang dikeluarkannya itu. Peluang berkorupsi pun menjadi tak terhindarkan.

Apa manfaat memoar kekalahan seorang Indra Jaya Piliang? Dia setidaknya memberi inspirasi dan pelajaran dalam perpolitikan Indonesia. Dan dia menyampaikan pelajaran itu dalam bahasa ringan yang tidak membosankan, dengan data primer yang lengkap.

Simaklah kata-kata Rizal Ramli, mantan aktivis yang pernah masuk penjara di era rezim Soeharto, mengenai buku ini.

Indra adalah sosok yang luar biasa, katanya. Hanya sedikit politisi sekarang yang menyempatkan diri menulis di saat terjebak rutinitas berjuang memenangkan diri sendiri dan partainya.

Rizal mengritik aktivis Partai Golkar yang terpilih menjadi anggota DPR karena seharusnya merekalah yang menulis pertanggungjawaban itu kepada publik.

Kendati begitu, Rizal senang, kemampuan menulis Indra bisa membawanya menjadi novelis yang mencatat peristiwa dan menyajikanya dalam buku yang enak dibaca, meskipun tidak terpilih jadi anggota DPR

Bagi seorang aktivis atau tokoh pergerakan, kemampuan menulis diperlukan untuk menuangkan buah fikiran untuk menganjurkan perubahan karena seseorang tidak cukup diberi label aktivis dari berdemo semata.

Praksis pergerakan, kata Rizal, tidak cukup hanya berfikir lalu berdiskusi sampai pagi. Dibutuhkan sebuah tindakan agar cita-cita yang diinginkan menjadi kenyataan.

Setiap orang selayaknya tetap menuliskan rasa dan buah fikirannya, meskipun mereka itu kalangan yang kalah. Dan tulisan Indra seakan menggugat bahwa sejarah tidak hanya ditulis oleh mereka yang menang.

Kekalahan sesungguhnya adalah kemenangan yang tertunda. Oleh karena itu, setiap orang harus belajar dari kekalahannya, untuk meraih kemenangan di medan pertarungan berikutnya.

E007/AR09

Oleh Erafzon Sas
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010