Jakarta (ANTARA News) - Kalangan eksportir dikhawatirkan akan terpukul dampak kenaikan rupiah, jika mata uang Indonesia itu menembus ke bawah level 9.000 per dolar AS.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi di Jakarta Kamis mengatakan, rupiah harus dijaga pada kisaran 9.000-9500 per dolar AS dan jika sampai menembus kebawah 9.000 per dolar AS akan memukul sektor manufaktur terutama yang berorientasi ekspor.

Menurut Sofjan, penguatan rupiah belakangan ini lebih karena pengaruh masuknya capital inflow ke pasar modal, dan Sertifikat Bank Indonesia. Penguatan rupiah bukan karena FDI (investasi asing langsung), tetapi lebih bersifat dana spekulatif.

Pemerintah harus berhati-hati dalam menentukan kebijakan moneternya, sebagai antisipasi dampak negatif penguatan rupiah terhadap pertumbuhan ekonomi.

BI sebagai otoritas moneter, menurut dia, bisa melakukan intervensi pasar agar nilai tukar rupiah bisa terjaga di level 9.000-9.500 per dolar AS.

Bank Indonesia memperkirakan nilai tukar rupiah pada triwulan pertama 2010 akan berada di level 9.200 per dolar AS atau menguat dibanding triwulan sebelumnya.

Penguatan rupiah belakangan menurut BI, sejalan dengan fundamental perekonomian dan risiko investasi yang menurun.

Meski begitu, Sofjan berpendapat, jika rupiah di bawah 9.000 per dolar AS, maka akan memukul sektor manufaktur berorientasi ekspor karena proyeksi bisnisnya akan terganggu.

Menyingkapi hal itu, Sofjan berharap BI sebagai otoritas moneter harus siap-siap mengintervensi pasar agar tidak terjadi gonjang-ganjing.

Sofjan mengakui, komposisi sektor manufaktur terhadap ekspor nasional masih relatif kecil atau sekitar 30 persen, namun dampaknya sangat besar karena sektor ini mempekerjakan banyak tenaga kerja.

Satu lagi yang juga tidak kalah penting, kata Sofjan, adalah jaminan pemerintah terhadap situasi keamanan di dalam negeri.

"Seperti kasus Tanjung Priok, terjadi dalam satu dua hari, namun dampaknya sangat besar tidak semata bagi ekspor impor, tetapi juga menjadi pertimbangan investor untuk menanamkan modalnya di dalam negeri," tambahnya.

Sementara itu, ekonomi Bank Mandiri Mirza Adityaswara mengatakan, penguatan rupiah karena pengaruh masuknya dana asing jangka pendek tidak bisa diharapkan untuk menggerakkan sektor riil.

"Masuknya sesaat, tetapi sesaat kemudian dana tersebut bisa keluar dengan cepat," kata Mirza.

Ia berpendapat, bisa saja hot money tersebut masuk karena situasi krisis politik di Thailand, sehingga para pemodal yang tadinya berada di negara tetangga itu mengalihkan portofolionya ke Indonesia.

(R017/S026)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010