Semarang (ANTARA News) - Pengamat media Universitas Diponegoro Semarang, Triyono Lukmantoro, menilai, penerapan sanksi moral masih sangat efektif untuk berbagai media "bandel" dan melanggar kode etik jurnalistik.

"Sanksi pelanggaran kode etik ini sebenarnya tidak enteng dibandingkan dengan sanksi yang diberikan dalam bentuk lain misalnya sanksi pidana," kata Triyanto yang juga pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi Undip itu, di Semarang, Jumat.

Ia mencontohkan, kasus dugaan makelar kasus palsu yang dihadirkan di program tayangan salah satu stasiun televisi swasta.

Kalau hal itu benar, katanya, media tersebut melanggar kode etik jurnalistik.

"Program tayangan yang bersifat `talkshow` termasuk karya jurnalistik yang menuntut sumber yang valid dan dapat dipercaya, sehingga apa yang disampaikan harus sesuai fakta yang terjadi," katanya.

Apabila media menyampaikan sesuatu berasal dari sumber yang tidak valid, direkayasa, dan palsu, katanya, media tersebut melanggar prinsip jurnalistik paling mendasar yakni kebenaran sesuai fakta yang terjadi.

"Kami belum sampai bicara jauh, misalnya bagaimana menghasilkan karya jurnalisme yang `excellent` dan berkualitas, namun bagaimana standar minimal karya jurnalistik itu terpenuhi terlebih dulu," katanya.

Ia mengemukakan, sanksi pelanggaran kode etik jurnalistik memang lebih bersifat moral, tetapi hal itu terkait dengan kepercayaan masyarakat terhadap karya jurnalistik.

"Kalau sampai media sudah terkena sanksi seperti itu, bagaimana dengan kepercayaan masyarakat terhadap kebenaran karya jurnalistik yang dihasilkan suatu media. Itu sebenarnya jauh lebih berat," katanya.

Pemberian sanksi moral, katanya, justru dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa jurnalis memiliki standar dan tolok ukur yang jelas dalam menjalankan profesinya.

Namun, katanya, kalau ada pihak yang dirugikan dan mereka menempuh jalur hukum tetap dipersilakan.

Misalnya, katanya, karena merasa nama baiknya dicemarkan atau menganggap dikenai perbuatan tidak menyenangkan.

"Hanya saja, saya merasa penerapan sanksi moral lebih pas dan efektif selama hal itu masih termasuk karya jurnalistik dibandingkan dengan sanksi lain seperti penjara atau denda," katanya.

Ia mengatakan, media dapat menyajikan tayangan dengan merahasiakan narasumber asalkan melalui proses verifikasi atas sumber tersebut terlebih dahulu.

"Sama seperti media cetak, misalnya hanya menyebutkan `Menurut sumber yang dapat dipercaya`, dan hal itu dapat dilakukan, misalnya untuk melindungi keselamatan narasumber," katanya.

Media, katanya, memiliki hak tolak yakni tidak mau menyebutkan identitas narasumber jika memang diperlukan.

Namun, katanya, media tidak boleh menyalahgunakan hak itu demi mencari sisi aktualitas dan eksklusivitas berita.
(U.KR-ZLS/M029/R009)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010