Jakarta (ANTARA) - Hanya sedikit literatur yang menawarkan perspektif lain yang bisa membidik akar terorisme, bagaimana itu terjadi, dan bagaimana masyarakat mesti menghadapinya. Salah satunya adalah "How To Win A Cosmic War."

Diterbitkan Random House, New York, pada 2009, karya Reza Aslan ini menghebohkan dunia karena fakta, teorema dan ulasannya relatif baru dari yang selama ini dibedah pakar umumnya.

Penulis "No God But God" ini dengan cemerlang mentautkan analisis sejarah, reportase jurnalistik, tinjauan politik dan kajian filsafat untuk membingkai kekinian (kekerasan mengatasnamakan agama).

Warga Amerika keturunan Iran itu memiliki keuntungan kultural dibandingkan penulis Barat lainnya dalam mengupas terorisme dan militansi. Latar belakangnya yang muslim membuatnya mampu menulis dalam dua perspektif sekaligus, Islam dan Barat.

Pada buku terbilang tipis (dengan substansi hanya 173 halaman), Aslan memotret Islam dan pertarungan pemikiran di dalamnya secara objektif, dan meski termasuk intelektual Barat dia tidak tendensius menguliti militansi Islam hanya demi pujian Barat atau predikat liberal.

Aslan mengupas akar terorisme untuk memberi dunia sebuah rekomendasi bagaimana menghadapi radikalisme, bahwa generalisasi yang salah terhadap Islam dan mengasosiasikan terorisme melulu dengan kekerasan justru membuat terorisme makin sulit dikalahkan.

Buku ini adalah studi kritis mengenai ideologi di balik Alqaeda dan kelompok-kelompok ekstrem sejenisnya.

Aslan berargumentasi bahwa agama kini menjadi kekuatan yang paling menggerakkan manusia dibandingkan abad lalu, termasuk Alqaeda yang pemahamannya menyimpang dari keumuman.

Perang kosmik

Terorisme Alqaeda dan kelompok-kelompok sejenisnya, menurut Aslan, bukan konflik biasa, sebaliknya merupakan konflik di mana Tuhan dipercaya panglima dalam konflik itu.

Aslan menyebutnya dengan "perang kosmik."

Pelaku perang ini percaya Tuhan campur tangan langsung pada salah satu pihak bertikai, sementara manusia hanya aktor yang digerakkan oleh skenario yang ditulis Tuhan.

Karena yakin itu misi ilahi, para pelaku perang kosmik memilah dunia dalam hitam dan putih.

Mereka tak mengenal negosiasi dan kekalahan, karena perang kosmik adalah perang metafisik antara kutub kebaikan melawan kutub kejahatan (iblis) dan berlangsung sepanjang zaman.

Perang ini tak bisa dimenangkan oleh senjata, propaganda dan kebencian, melainkan oleh kekuatan iman.

Buku ini menyerang kekeliruan Barat yang setelah Serangan 11 September 2001 tak bisa membedakan muslim umumnya dengan Alqaeda dan kelompok-kelompok militan sejenisnya.

Generalisasi itu malah mempermudah aktivis jihad merekrut anggotanya karena cap buruk Barat terhadap Islam telah membuat sebagian muslim akrab dengan ideologi ekstrem, seperti pelaku bom bunuh diri di London tahun 2005.

Barat menyamakan Alqaeda dengan kelompok Islam politik (nasionalis islamis) seperti Hamas, Hizbullah, atau rezim mullah Iran, dengan Alqaeda dan sejenisnya.

Padahal kelompok-kelompok seperti Hizbullah, Taliban dan Ikhanul Muslimin itu adalah nasionalis relijius yang berjuang dalam kerangka dan agenda nasional melalui partai politik Islam atau pemberdayaan politik dan ekonomi Islam.

Sebaliknya, kelompok teror seperti Alqaeda merupakan gerakan transnasionalis relijius yang tak mengenal batas geografi dan sosiopolitik.

Perang, bagi nasionalis relijius, terjadi dalam konteks negara atau nasional, sementara transnasionalis relijius melihat perang sebagai konflik tiada batas dan universal, dengan senjata utama manipulasi tafsir jihad.

Bernegosiasi dengan kelompok-kelompok seperti Alqaeda itu mustahil, tapi berbicara dengan nasionalis relijius seperti Hamas amat mungkin dilakukan.

Gerakan sosial

Aslan pergi ke Israel, Irak, Leeds dan London, untuk menjejak akar radikalisme. Dia menemukan fakta bahwa Palestina dan alienasi komunitas minoritas muslim di sejumlah negara, khususnya Eropa, telah mengeraskan militansi.

Dia membahas "alumni Afghanistan" yang 31 tahun lalu berperang di Afghanistan melawan Uni Soviet. Di Afganistan, mereka menemukan konsep abstrak "ummah" mewujud nyata dan pulang ke negerinya sebagai manusia yang bercara pandang berbeda, yang melihat dunia tak berbatas.

Mereka menjadi amat sensitif melihat penderitaan muslim di seluruh dunia, dari Bosnia sampai Chechnya, dari Xinjiang sampai Mindanao, dari Leeds di Inggris sampai Kairo.

Mereka memandang penderitaan itu dari perspektif lain yang menguatkan keyakinan bahwa mereka diutus Tuhan untuk memerangi kekuatan kebathilan. Mereka menyebut dirinya "tentara Tuhan."

Ironisnya, pandangan pemimpin Barat seperti George Bush, sama dengan Alqaeda, Osama bin Laden atau Ayman al-Zawahiri, karena sama-sama yakin sedang mengemban misi Tuhan, memerangi kekuatan kebathilan.

Kaum Evangelis di AS dan Zionis relijius di Israel, disebut Aslan, adalah juga pelaku perang kosmik. Zionis relijius bahkan bermimpi membangun Israel yang teokratis.

Kedua kelompok fanatik ini merasa bertindak karena wahyu Tuhan menitahkan mereka demikian.

Oleh karena itu perang kosmik tidak dimonopoli satu keyakinan saja dan Islam bukan satu-satunya yang dimanipulasi untuk kekerasan, karena militansi agama tumbuh di keyakinan apa saja.

Contohnya pemukim Yahudi di daerah pendudukan Palestina yang berbuat karena dasar keyakinan bahwa mereka sedang menjalankan wahyu Tuhan, menegakkan kebenaran ilahiah. Pun demikian dengan fundamentalisme Hindu yang ingin hukum Hindu diterapkan India.

Seperti juga Alqaeda dan kelompok ekstrem lainnya, para fundamentalis menolak keyakinan di luar mereka, mesti itu berasal dari kaum sekeyakinan.

Alqaeda misalnya, menolak ulama dan ajaran-ajaran Islam yang berseberangan dengannya seraya menyebut mereka sama kafirnya dengan non muslim.

Menghadapi kekuatan yang berpikir hitam di atas putih dan melihat dunia sebagai kawan dan lawan, masyarakat butuh kelenturan dan pendekatan yang menguatkan dan merangkul, kontemplasi iman, dan penglibatan sosial. Mereka tak bisa diatasi dengan mengucilkan Islam atau menolak partisipasi politik kelompok nasional relijius karena itu malah menyuburkan militansi.

Aslan menamakan pendekatan itu sebagai "gerakan sosial." Gerakan itu sedang diimplementasikan Barack Obama yang juga pantas diadopsi masyarakat lain, termasuk dunia muslim seperti Indonesia.

Aslan memang memperuntukkan buku ini bagi pembaruan sikap dan cara pandang AS dan Barat terhadap Islam, terorisme dan relasi antar umat setelah Bush salah menyikapi itu semua. (*)
(AR09/B010)

Oleh Oleh: Jafar M. Sidik
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010