Pengadaan vaksin yang hanya mementingkan diri sendiri bertentangan dengan standar hak asasi manusia internasional
Jakarta (ANTARA) - Sejumlah pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk hak asasi manusia mengingatkan sejumlah negara untuk tidak menimbun persediaan calon vaksin COVID-19 dan bergabung dalam kerja sama pengadaan vaksin internasional demi memastikan seluruh pihak memiliki akses yang sama dan setara saat nantinya anti virus itu tersedia.

Pernyataan itu disampaikan oleh Tlaleng Mofokeng, Olivier De Schutter, Anita Ramasastry, Dante Pesce, Surya Deva, Elżbieta Karska, dan Githu Muigai, Obiora C. Okafor, dan Saad Alfarargi, lewat laporan bersama yang diterbitkan di laman resmi laman resmi Komisi Tinggi PBB untuk HAM (OHCHR), Senin (9/11), sebagaimana diakses di Jakarta, Selasa.

Para pelapor itu mendesak agar negara-negara maju dan mampu secara finansial tidak hanya mengurusi kepentingan sendiri dan melupakan kenyataan bahwa negara-negara miskin dan berkembang juga berhak mendapatkan akses vaksin COVID-19 yang sama dan setara.

Desakan itu disampaikan setelah Oxfam -- konfederasi lembaga kemanusiaan dunia -- pada 17 September 2020 menerbitkan laporan bahwa 51 persen dari total dosis calon vaksin siap produksi telah dibeli oleh negara-negara yang jumlah penduduknya hanya mencapai 13 persen dari total populasi dunia.

"Kebijakan yang isolatif dan pengadaan vaksin yang hanya mementingkan diri sendiri bertentangan dengan standar hak asasi manusia internasional," kata para pelapor khusus HAM PBB, seraya mengingatkan bahwa jika dunia bergantung pada sarana produksi vaksin yang sama, maka banyak negara-negara miskin dan berkembang akan kesulitan menyediakan vaksin COVID-19 untuk rakyatnya.

Oleh karena itu, para pelapor mendorong negara-negara maju untuk bergabung dalam program pengadaan vaksin dunia (COVAX Facility), yang bertujuan memastikan akses vaksin yang murah dan setara untuk seluruh negara di dunia. "Kerja sama internasional dan sikap saling bantu antara negara maju dan berkembang jadi faktor penting yang dapat memastikan seluruh teknologgi, data, hak kekayaan intelektual, dan informasi penting lainnya terkait vaksin dan obat COVID-19 menjadi barang milik bersama," terang mereka.

Dalam laporan yang sama, para pelapor juga menjelaskan banyak negara miskin dan berkembang kesulitan mengimbangi upaya negara-negara maju mengamankan persediaan calon vaksin COVID-19 yang beberapa di antaranya telah memasuki uji klinis tahap III.

"Langkah yang disebut sebagai nasionalisme vaksin hanya akan memperburuk situasi ini. Negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah terpaksa menumpuk utang dan mengurangi beban fiskal hanya untuk memenuhi kebutuhan kesehatan yang mendesak. Akibatnya, mereka dapat terjebak dalam krisis utang dan makin sulit untuk menyediakan vaksin buat rakyatnya," kata para pelapor itu.

Aliansi Global untuk Vaksin dan Imunisasi (GAVI), salah satu lembaga yang menginisiasi COVAX bersama WHO dan Koalisi Inovasi Kesiapsiagaan Epidemi (CEPI), lewat laporannya akhir bulan lalu mengumumkan Komisi Eropa telah bergabung dalam program pengadaan vaksin bersama tersebut.

"Komisi Eropa mewakili 27 anggota Uni Eropa plus Norwegia dan Islandia juga telah bergabung dalam COVAX Facility," kata GAVI lewat laporannya yang terbit pada 29 Oktober 2020.

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus pada bulan lalu mengumumkan setidaknya ada 184 negara yang telah bergabung dalam COVAX Facility.

Baca juga: Putin: Semua vaksin COVID-19 Rusia efektif

Baca juga: Brazil tunda uji klinis vaksin Sinovac usai muncul "efek merugikan"

Baca juga: Menristek: Vaksin merah putih simbol kemandirian bangsa


Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Gusti Nur Cahya Aryani
Copyright © ANTARA 2020