Jakarta (ANTARA News) - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh Mahfud MD mengatakan, dirinya dari dahulu telah berpendapat bahwa penghentian kasus Bibit-Chandra seharusnya dengan abolisi dan bukan dengan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP).

"Saya dari dulu sudah mengusulkan lewat abolisi," kata Mahfud di Jakarta, Selasa.

Menurut Ketua MK, langkah abolisi dari segi hukum akan menuntaskan sepenuhnya kasus Bibit-Chandra yang menurut MK terdapat rekayasa di dalamnya.

Apalagi, abolisi terdapat dalam Konstitusi, di mana dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.

Berkaitan dengan putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memenangkan Anggodo Widjojo, Mahfud berpendapat bahwa secara formal dan prosedur hukum hal tersebut tidak salah.

Ia juga mengemukakan bahwa terdapat kemungkinan bahwa putusan praperadilan tersebut juga bisa saja menjadi salah satu strategi untuk mengalihkan publik dari kasus hukum lainnya.

Sebelumnya, PN Jaksel memerintahkan agar perkara yang menjerat dua pimpinan KPK, Bibit S Rianto dan Chandra Hamzah, untuk berlanjut ke tahap pengadilan setelah permohonan praperadilan yang diajukan Anggodo Widjojo dikabulkan.

"Memerintahkan kepada termohon I (Kejaksaan) untuk melimpahkan perkara Bibit S Rianto dan Chandra Hamzah, ke pengadilan," kata hakim tunggal, Nugroho Setyadi, dalam sidang putusan permohonan praperadilan di PN Jaksel, Senin (19/4).

Salah satu pertimbangan dikeluarkannya SKPP (Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan), yakni, masalah sosiologis masyarakat. Dikeluarkannya SKPP itu, sempat menimbulkan pro kontra dan permohonan praperadilan banyak diajukan ke PN Jaksel.

Hakim tunggal mempertimbangkan bahwa aspek sosiologi tidak pernah digunakan dalam pertimbangan hukum dan tidak sesuai Pasal 140 ayat (2) KUHAP hingga dinilai perbuatan melawan hukum.
(T.M040/R009)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010