Tanjungpinang (ANTARA) - Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menyerukan masyarakat untuk tidak memilih calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terlibat kasus korupsi dan gratifikasi, yang saat ini ditangani KPK.

Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, yang dihubungi dari Tanjungpinang, Selasa, mengatakan, pilkada seharusnya menyediakan pilihan yang baik kepada masyarakat untuk memajukan daerah.

Namun yang terjadi di sebagian daerah di Indonesia, termasuk di berbagai daerah di Kepri justru sebaliknya. Orang-orang yang terlibat kasus korupsi maupun gratifikasi masih berhasrat untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

Mereka mendapat ruang untuk diusung partai politik sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Regulasi terkait persoalan ini, menurut dia masih perlu diperbaiki untuk mencegah hasil pilkada yang melukai rakyat.

Upaya melahirkan pemimpin yang bersih harus dimulai dari proses pilkada yang baik, yang dapat membendung orang-orang yang terlibat kasus korupsi mencalonkan diri.

"Dalam penanganan Covid-19, contohnya, KPU dapat menunda pencalonan politisi yang terkonfirmasi Covid-19. Seharusnya, upaya lainnya, dalam konteks melahirkan pemimpin yang diharapkan masyarakat, dipikirkan juga potensi kerawanannya seperti tidak memberi ruang kepada orang-orang yang terlibat kasus korupsi dan gratifikasi di KPK," ujar aktivis antikorupsi itu.

Baca juga: MAKI sorot penanganan laporan "mark-up" harga teri bantuan COVID-19

Kehadiran pasangan calon kepala daerah yang bermasalah, menurut dia dapat menimbulkan permasalahan bila mereka memenangkan pilkada. Kemudian setelah dilantik, berhadapan dengan kasus hukum.

Kondisi ini tidak hanya memperburuk nama pemerintahan daerah, melainkan bertolak belakang dengan harapan rakyat, yang menginginkan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang lahir dari pesta demokrasi, tidak terlibat kasus korupsi maupun gratifikasi.

"Kami memahami, KPU maupun Bawaslu tidak memiliki wewenang untuk menolak calon kepala daerah yang bermasalah hukum sebelum diputuskan pengadilan. Namun sanksi dapat diberikan pemilih dalam pilkada yakni tidak memilih mereka yang tersandera dalam kasus korupsi atau pun gratifikasi di KPK," katanya.

Menurut dia, orang-orang yang pernah menjadi napi korupsi dan juga terlibat dalam kasus korupsi berpotensi mengulangi kejahatan yang sama sehingga pemilih sebaiknya tidak memilihnya pada pilkada.

Baca juga: KPK pastikan penyelidikan korupsi kepala daerah lanjut saat pilkada

Calon kepala daerah yang disajikan dalam pilkada untuk dipilih oleh pemilih seharusnya tidak bermasalah. Sebab pilkada menguras anggaran daerah yang sangat besar, sehingga tidak layak kalau masyarakat diberi pilihan kurang baik.

Boyamin membeberkan ada sejumlah calon kepala daerah dan wakil kepala daerah tersandera kasus dugaan korupsi dan gratifikasi. Rata-rata kasus itu dugaan korupsi dan gratifikasi itu terjadi ketika mereka menjadi pengusaha dan kepala daerah.

Di Kepri, contohnya, Boyamin mengatakan ada dua calon kepala daerah yang diduga terlibat kasus gratifikasi yakni AW dan AR. AW, Calon bupati Bintan diduga terlibat dalam kasus gratifikasi pemberian ijin usaha pertambangan di Kotawaringin Timur.

Baca juga: KPK ingatkan calon kepala daerah dari PDIP jauhi tindakan korupsi

Bupati Kotawaringin Timur, Supian Hadi, telah ditetapkan sebagai tersangka sejak sembilan bulan lalu karena berdasarkan penyidikan yang dilakukan KPK, diduga merugikan negara sebesar Rp5,8 triliun dan 711.000 dolar Amerika Serikat.

Supian Hadi selama periode 2010-2015 telah merugikan keuangan negara dalam pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada PT FMA (PT Fajar Mentaya Abadi), PT Bl (PT Billy Indonesia), dan PT AIM (PT Aries Iron Mining) di Kabupaten Kotawaringin Timur periode 2010 2015. Saat itu, AW menjabat sebagai Direktur PT FMA dan PT AIM.

Selain merugikan negara hingga trilinan rupiah, Hadi juga diduga telah menerima sejumlah pemberian dari izin tersebut, yakni mobil Toyota Land Cruiser senilai Rp 710 juta, mobil Hummer H3 seharga Rp1.350.000.000, dan uang sebesar Rp 500 juta yang diduga diterima meIalui pihak lain.
 

Pewarta: Nikolas Panama
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2020