Jakarta, 27/4 (ANTARA) - "Statistik pertanian dan perikanan saat ini banyak dibutuhkan, baik untuk MDGs (Millenium Development Goals), Ketahanan Pangan (Food Security), Perubahan Iklim (Climate Charge) dan lain-lain. Akan tetapi, pada kenyataannya di dunia kurang diperhatikan. Hal ini mungkin disebabkan oleh para penentu kebijakan hanya memandang dari sisi porsi pertanian dan perikanan pada Gross Domestic Product (GDP) yang relatif kecil sehingga penyediaan anggaran untuk statistik sektor ini semakin berkurang", demikian diungkapkan oleh Hiek Som, Deputy Director Statistical Development Service, FAO, pada saat sidang Asia and Pacific Commission on Agricultural Statististics di Siem Reap, Cambodia, 26 - 30 April 2010.

     Kondisi universal tersebut dialami juga di Indonesia. Menurut Soen'an Hadi Poernomo, Kepala Pusdatin, Kementerian Kelautan dan Perikanan yang menghadiri sidang tersebut, menyampaikan bahwa di Indonesia dirasakan penyebab lain, yakni sikap atau paradigma para pembuat kebijakan yang kurang memahami arti penting statistik dalam perencanaan, monitoring dan evaluasi. Terutama terjadi di daerah yang anggarannya terbatas, sehingga hanya melihat pada kegiatan yang menghasilkan PAD (pendapatan asli daerah) saja. Kondisi bertambah sulit dengan keberadaan SDM petugas statistik yang sering dipindah tugas.

     Soen'an menambahkan bahwa bagi Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki masalah yang kompleks karena pengumpulan data di daerah terpencil mengalami banyak kesulitan. Di samping itu, untuk mendapatkan data potensi laut melalui stock assesment, atau meneliti kandungan ikan di laut, biaya survai yang harus dilakukan adalah sangat mahal. Terutama untuk operasi kapal penelitiannya. Padahal pengelolaan wilayah perairan harus diawali dengan data potensi, agar jelas jumlah dan jenis alat penangkapan yang digunakan.

     Permasalahan lain adalah mengenai integrasi data internasional, karena terdapatnya perbedaan berbagai definisi, antara berbagai negara dengan FAO. Misalnya definisi ikan, FAO hanya menafsirkan ikan bersirip (fin fish), tetapi Indonesia dan beberapa negara lain menafsirkan ikan, termasuk udang, cumi-cumi, kepiting, kerang-kerangan, rumput laut dan sebagainya. Dalam perdagangan internasional, yang dimaksud hasil perikanan tidak hanya ikan bersirip.

     Direktur Statistik Peternakan, Perikanan dan Kehutanan BPS, Bambang Heru Santosa, menyampaikan permasalahan perubahan pola makan harus menjadi pertimbangan strategi statistik global, karena sangat berpengaruh terhadap peran statistik sebagai sumber pengambilan keputusan. Apalagi apabila dikaitkan dengan program Ketahanan Pangan.

     Soen'an meminta masukan dalam sidang untuk menetapkan indikator tingkat kesejahteraan petani dan nelayan. Untuk sementara, bagi masyarakat perikanan di Indonesia menggunakan indikator pendapatan nelayan, Nilai Tukar Nelayan, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) Nelayan. Apabila indikator disepakati, dapat juga dipergunakan oleh FAO untuk mengukur pencapaian target MDGs. Gagasan ini disambut baik dalam sidang, dan Sachiko Tsuji, Ahli Statistik Perikanan Senior FAO, mendapat tugas untuk mempelajari usulan Indonesia tersebut.

     Turut serta dalam sidang APCAS di Siem Reap, Kamboja, adalah Agus Suryadi dari Pusdatin KKP, M. Tassim Billah dan Djoko Husodo dari Kementerian Pertanian. Sidang yang membahas pula tentang Strategi Global Statistik dalam sektor pertanian dan perikanan tersebut diikuti oleh 17 perwakilan negara Asia, Amerika dan Australia, serta para pejabat FAO dari Roma dan Bangkok.

     Untuk keterangan lebih lanjut, silakan menghubungi Dr. Soen'an H. Poernomo, M.Ed, Kepala Pusat Data, Statistik, dan Informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, HP.0816193391




Pewarta: PR Wire
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2010