Denpasar (ANTARA News) - Sejumlah "aktor" yang berperan dalam film "Cowboys in Paradise" mengaku dibayar sangat murah saat mereka harus berakting di kawasan Pantai Kuta, Kabupaten Badung, Bali.

"Kami memang tidak mematok bayaran saat diminta berperan. Masalahnya, kami tidak tahu kalau gambar yang diambil saat itu untuk produksi sebuah film dokumenter," ujar Bima, seorang "aktor" film kontroversial tersebut, di Denpasar, Sabtu.

Usai diperiksa pihak Ditreskrim Polda Bali, baik Bima maupun beberapa temannya yang lain, mengaku tidak pernah diberitahu kalau hasil pengambilan gambar atas akting mereka di Pantai Kuta adalah untuk produksi film dokumenter.

"Yang kami tahu, ya disyuting begitu saja, sebagaimana layaknya turis yang selama ini datang untuk mengambil gambar secara bebas di Kuta," kata Bima, dibenarkan beberapa temannya yang lain.

Arnold, yang juga "aktor", menambahkan, sehubungan hanya diambil gambar begitu saja, dirinya tidak pernah mengajukan keberatan saat disodori uang yang tidak terlalu besar.

Baik Arnold maupun Bima senada mengaku hanya diberikan imbalan antara Rp150 ribu sampai Rp200 ribu untuk serangkaian syuting yang mengambil lokasi di kawasan Pantai Kuta.

"Kalau saja kami tahu untuk film dokumenter, tentu kami tidak mau menerima honor sebesar itu," kata Arnold yang mengaku sejak 2007 telah berkenalan dan akrab dengan Amit Virmani, sang sutradara "Cowboys in Paradise".

Selain Bima dan Arnold, Polda Bali juga memeriksa empat "aktor" yang lain, yang ambil bagian dalam film yang mengisahkan tentang kehidupan para gigolo di Pantai Kuta.

Mereka adalah Rosnan Efendik alias Fendi, Sugiarto alias Argo, Dennis dan Ketut Suardana, tokoh masyarakat Ubud, Kabupaten Gianyar.

Kabid Humas Polda Bali Kombes Pol Gde Sugianyar mengatakan, semua "aktor" yang telah dimintai keterangan mengaku tidak tahu jika gambar yang diambil oleh sang sutradara film adalah untuk keperluan film dokumenter.

"Mereka tidak tahu kalau itu untuk film dokumenter, sebab kru yang mengambil gambar hanya mengatakan untuk koleksi pribadi," kata Sugianyar.

Suardana, tokoh masyarakat Ubud, dalam film tersebut terlihat muncul selama beberapa detik bersama istrinya, Jeanet De Neffee, yang kelahiran Australia.

Sebelum memasuki ruang pemeriksaan, Suardana mengaku siap dimintai keterangan oleh polisi seputar film yang "dibintanginya". "Dimintai keterangan apapun, saya siap," ujarnya.

Suardana mengaku tidak tahu jika wajah dan namanya telah dicatut dalam film yang sudah merusak citra Pulau Dewata itu. Awalnya, ia ditemui oleh Amit dan rekannya yang meminta untuk berkomentar seputar bahaya penyakit HIV/AIDS di Bali.

Karena merasa peduli dengan bahaya penyakit tersebut, ia pun mengaku bersedia untuk diwawancarai.

Namun belakangan, Suardana mengaku sangat kecewa bahwa hasil wawancara tersebut ternyata muncul dalam rangkaian film dokumenter yang mengisahkan tentang kehidupan gigolo di Pantai Kuta.

Kabid Humas mengatakan bahwa keenam orang yang diperiksa pihaknya masih dalam kapasitas sebagai saksi. "Tidak mungkin kami panggil orang untuk tiba-tiba dijadikan sebagai tersangka," katanya.

Ia menjelaskan masih ada beberapa saksi yang terlibat dalam film tersebut yang akan dimintai keterangan.

"Mungkin besok atau beberapa hari ke depan masih ada beberapa saksi yang akan dipanggil lagi," katanya.
(T.P004/s018/R009)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010