Jakarta (ANTARA News) - Indonesia Against Injustice (IAI) menyatakan semua pihak harus menghormati pembatalan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) terhadap dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

IAI melalui siaran persnya di Jakarta, Senin berpendapat bahwa saat ini ada kecenderungan pemaksaan rasa keadilan yang semu dalam penegakan hukum di Indonesia.

Pernyataan itu disampaikan IAI menanggapi polemik dikabulkannya permohonan praperadilan sehingga berakibat pembatalan SKPP itu.

Sebelumnya, hakim tunggal PN Jaksel Nugroho Setiadji mengabulkan permohonan praperadilan SKPP pimpinan KPK Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah yang diajukan oleh Anggodo Widjojo, adik kandung Anggoro Widjojo, tersangka dugaan korupsi pada proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) Departemen Kehutanan (Dephut).

Putusan itu menyebutkan bahwa perkara yang menimpa dua pimpinan KPK tersebut, tetap dilanjutkan ke pengadilan. Sedangkan pihak tergugat dalam permohonan praperadilan itu, adalah pihak Kejagung karena bertindak sebagai pihak yang mengeluarkan SKPP tersebut.

Keterangan tertulis IAI menyebutkan, setiap warga negara berhak mendapat perlakuan yang sama di mata hukum. Dengan demikian, semua proses hukum yang dijalani setiap Warga Negara Indonesia harus bebas dari kepentingan manapun, kecuali untuk kepentingan penegakan hukum itu sendiri.

"Pembatalan SKPP oleh PN Jaksel harus dihormati sebagai bagian dari proses hukum kita. Janganlah keputusan itu dipersoalkan secara berlebihan, hanya karena terkait dengan dua pimpinan KPK," ujar Presiden IAI, OC Kaligis, dalam keterangan tertulis itu.

IAI berpandangan, penolakan atas keputusan PN Jaksel itu sudah ada mekanisme hukumnya. Misalnya, pengajuan banding yang dilakukan Kejaksaan Agung atas keputusan tersebut.

IAI melihat, belakangan ini ada semacam fanatisme buta di masyarakat terhadap KPK, sehingga masyarakat seakan kehilangan daya kritis terhadap lembaga tersebut.

Dalam hal proses hukum yang membelit Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, IAI berpandangan, seharusnya tak perlu ada keistimewaan terhadap keduanya.

Dengan dilanjutkannya proses hukum ke pengadilan, justru nantinya Bibit dan Chandra bisa membuktikan di pengadilan bahwa mereka tak terlibat suap, seandainya memang bersih dari suap.

Sementara itu Kejaksaan Agung (Kejagung), Senin, mengajukan memori banding atas putusan praperadilan terhadap SKPP Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah ke PN Jakarta Selatan. "Finalisasi narasi memori banding Senin (3/5) sore selesai, dan Insya Allah dikirim ke PN Jaksel," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Didiek Darmanto.

Kejagung berpendapat hakim yang memutuskan SKPP itu, tidak mengetahui latar belakang dikeluarkannya SKPP yakni adanya kekhawatiran akan menimbulkan perpecahan bangsa dan negara dari kasus Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah yang dituduh melakukan pemerasan dan penyuapan terhadap Anggoro Widjojo.

Kapuspenkum menyatakan memori banding itu akan dikirimkan oleh Kejari Jaksel ke PN Jaksel. "Alasan mengajukan banding itu, karena "legal standing" (kewenangan hukum) pemohon yaitu Anggodo Widjojo dipertanyakan," katanya.

Dia mengatakan kejaksaan tetap berpendirian yang berhak mengajukan SKPP itu adalah Anggoro Widjoyo sebagai pihak langsung berkaitan dengan perkara. "Maupun Antasari Azhar (mantan Ketua KPK) sebagai pelapor," katanya.

Alasan lainnya, kejagung mengajukan banding karena keterangan ahli yang dihadirkan tidak obyektif dan ada unsur kepentingannya. "Sedangkan pemberian keterangan dari ahli kejaksaan tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim, dan tidak dikabulkan untuk dihadirkan," katanya.

"Serta mengukuhkan alasan dikeluarkannya SKPP, karena yuridis dan sosiologis," katanya.
(T.U002/A033/R009)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010