Kolombo (ANTARA News/AFP) - Mantan pemimpin militer Sri Lanka Jendral Sarath Fonseka hari Kamis berjanji membongkar kejahatan perang yang dilakukan pada akhir perang saudara di negara itu.

Pernyataan Fonseka itu meningkatkan tekanan terhadap pemerintah yang sejauh ini menolak seruan-seruan bagi penyelidikan atas kejahatan perang.

Fonseka, yang berselisih dengan Presiden Mahinda Rajapakse dan meninggalkan pemerintahan setelah berhasil menumpas pemberontakan Macan Tamil, mengatakan, ada tuduhan-tuduhan yang harus diselidiki secara menyeluruh dan independen.

"Saya akan mengungkap siapa pun yang melakukan kejahatan perang," kata Fonseka kepada wartawan. "Saya tidak akan melindungi siapa pun, mulai dari yang paling tinggi hingga yang terbawah."

Jendral yang ditahan militer pada Februari itu menyampaikan pernyataan tersebut kepada wartawan di dalam gedung parlemen setelah ia dikawal untuk menghadiri sidang Kamis selaku anggota parlemen dari oposisi. Ia memperoleh satu kursi dalam pemilihan parlemen pada April.

Fonseka mengatakan, pemerintah takut ia akan membeberkan orang-orang yang bersalah dalam pelanggaran hak asasi manusia dan berusaha membungkamnya.

"Bukan tindakan patriotik melindungi orang yang melakukan ketidakadilan pada pemuda Tamil," kata Fonseka, yang menambahkan bahwa ia sendiri secara pribadi tidak tahu bentuk pelanggarannya namun menginginkan semua tuduhan diselidiki.

Presiden Sri Lanka mengumumkan rencana-rencana untuk meninjau lagi tahap akhir perang dengan Macan Tamil, namun tidak menyebutnya sebagai penyelidikan kejahatan perang.

Rajapakse dalam sebuah pernyataan mengatakan, ia akan membentuk sebuah komite unutk menilai tahap-tahap akhir peran dan merekomendasikan langkah-langkah untuk mencegah kembalinya konflik.

PBB memperkirakan lebih dari 7.000 warga sipil tewas dalam konflik empat bulan antara pasukan pemerintah dan pemberontak Macan Tamil.

Pemerintah Sri Lanka pada 18 Mei 2009 mengumumkan berakhirnya konflik puluhan tahun dengan Macan Tamil setelah pasukan menumpas sisa-sisa kekuatan pemberontak tersebut dan membunuh pemimpin mereka, Velupillai Prabhakaran.

Pernyataan Kolombo itu menandai berakhirnya salah satu konflik etnik paling lama dan brutal di Asia yang menewaskan puluhan ribu orang dalam berbagai pertempuran, serangan bunuh diri, pemboman dan pembunuhan.

Macan Pembebasan Tamil Eelam (LTTE) juga telah mengakui bahwa Velupillai Prabhakaran tewas dalam serangan pasukan pemerintah Sri Lanka.

Juga dinyatakan tewas dalam operasi final militer adalah dua deputi Prabhakaran -- pemimpin Macan Laut Kolonel Soosai dan kepala intelijen LTTE Pottu Amman.

Tokoh penting lain Macan Tamil yang juga tewas adalah putra Prabhakaran dan calon penggantinya, Charles Anthony (24), pemimpin sayap politik B. Nadesan dan pemimpin Sekretariat Perdamaian LTTE yang sudah tidak berfungsi lagi, S. Pulideevan.

Presiden Sri Lanka Mahinda Rajapakse telah beberapa kali mendesak pemberontak Macan Tamil menyerah untuk menghindari pembasmian total.

Rajapakse, yang juga panglima tertinggi angkatan bersenjata, juga menolak seruan-seruan bagi gencatan senjata dan menekankan bahwa Macan Tamil harus meletakkan senjata dan mengizinkan warga sipil keluar dari daerah-daerah yang masih mereka kuasai.

Pertempuran antara pasukan pemerintah dan pemberontak LTTE meningkat sejak pemerintah secara resmi menarik diri dari gencatan senjata enam tahun pada Januari 2008.

Pembuktian independen mengenai klaim-klaim jumlah korban mustahil dilakukan karena pemerintah Kolombo melarang wartawan pergi ke zona-zona pertempuran.

Sekitar 15.000 pemberontak Tamil memerangi pemerintah Sri Lanka dalam konflik etnik itu dalam upaya mendirikan sebuah negara Tamil merdeka.

Masyarakat Tamil mencapai sekitar 18 persen dari penduduk Sri Lanka yang berjumlah 19,2 juta orang dan mereka terpusat di provinsi-provinsi utara dan timur yang dikuasai pemberontak. (M014/K004)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010