Jakarta (ANTARA News) - Bank Indonesia (BI) menyebutkan, penerapan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 50 dan 55 tidak memungkinkan perbankan mengatur besarnya pencadangannya untuk tujuan tertentu.

Deputi Direktur Pengawasan Bank II BI Duddy Isakandar, dalam acara diskusi dengan wartawan di Jakarta, Selasa, mengatakan dalam regulasi itu untuk menentukan cadangan (Cadangan Kerugian Penurunan Nilai/CKPN) berdasarkan data kerugian kredit yang telah terjadi (incured loss) yang diambil dari data tiga tahun sebelumnya.

Sedangkan penentuan pencadangan sebelumnya (Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif/PPAP), lanjut Duddy, menggunakan ekspektasi kerugian kredit (expectation loss) yang ditentukan oleh perbankan tersebut.

"Kalau dalam PPAP bank bisa menentukan pencadangan 1 persen, tapi dalam perhitungan PSAK 50 dan 55 bisa 0,1 persen atau lebih, tergantung data `historis default` kredit bank tersebut," kata Duddy.

Dengan kata lain bahwa penerapan regulasi ini bank sulit untuk memoles (dipercantik) laporan keuangannya karena memakai sumber data yang diambil dari data-data transaksi minimal tiga tahun atau maksimal lima tahun sebelumnya.

Beberapa kasus yang terjadi bahwa perbankan memoles laporan keuangannya dengan memperbesar PPAP-nya sehingga akan mempengaruhi kinerjanya.

Penerapan PSAK 50 dan 55 ini perbankan dituntut untuk menyajikan transaksi keuangan dan "disclousure" (keterbukaan informasi).

Tujuan penerapan PSAK 50 dan 55 ini, kata Duddy, diharapkan laporan keuangan perbankan di Indonesia menjadi standar internasional, memberikan kemudahan pada investor atau kreditor asing memahami kinerjanya dan mempertahankan peluang "listing" (mencatatkan sahamnya) di luar negeri.

PSAK 50 dan 55 (revisi 2006) yang mulai diterapkan pada 1 Januari 2010 ini merupakan laporan keuangan yang mengacu pada International Accounting Standard (IAS) 39 mengenai "Recognition and measurement of financial instrument" dan IAS 32 mengenai "presentation and disclousures of financial instrument".

Duddy mengatakan bahwa PSAK 50 dan 55 ini telah menjadi acuan oleh banyak negara maju maupun berkembang yang dapat mendorong proses harmonisasi penyusunan analisis laporan keuangan dan mendorong terciptanya disiplin pasar.

"Apalagi kita telah menjadi anggota G-20," katanya.
(T.J008/E008/P003)

Pewarta:
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010