Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Agung menganulir vonis bebas terhadap mantan Direktur Utama PT Pos Indonesia, Hana Suryana, sehingga terhukum harus menjalani masa hukuman dua tahun penjara dipotong masa penahanan dan denda Rp100 juta atau subsider lima bulan kurungan.

Putusan tersebut sekaligus mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan jaksa penuntut umum (JPU) terkait dengan vonis bebas terhadap Hana Suryana oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

"Menyatakan batal putusan pengadilan negeri membatalkan mengadili sendiri menyatakan terdakwa terbukti melakukan perbuatan korupsi secara bersama-sama," kata majelis hakim seperti yang dikutip dalam putusan tersebut yang diterima wartawan di Jakarta, Rabu.

Putusan itu ditetapkan pada 11 Mei 2010 dengan majelis hakim, yakni, Zahrudin Utama, Imam Harjadi, dan Mansyur Kartayasa

Majelis hakim menyebutkan bahwa pengadilan negeri beranggapan bahwa perbuatan terdakwa adalah dalam melaksanakan ketentuan undang-undang sehingga tidak dapat dipidana.

Hal itulah yang menjadi pertimbangan majelis hakim kasasi yang menyebutkan bahwa perbuatan terdakwa dalam melaksanakan UU itu tidak boleh bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi.

"Dia (terdakwa) melaksanakan Surat Edaran Nomor 41/DIROP/2003 pada Maret 2003 yang mengambil keuntungan dari pelanggan bertentangan dengan UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Itu sebenarnya bertentangan dengan UU tentang BUMN," katanya menandaskan.

Sebelumnya, Direktur Utama (Dirut) PT Pos Indonesia, Hana Suryana, divonis bebas oleh majelis hakim PN Jakarta Pusat, Kamis, terkait dugaan korupsi PT Pos Indonesia yang merugikan keuangan negara sebesar Rp3.579.816.441.

Jaksa penuntut umum sendiri menuntut orang nomor satu di PT Pos Indonesia tersebu, dengan dua tahun penjara.

Di dalam dakwaan, JPU menyatakan terdakwa yang saat itu menjabat sebagai Kepala Wilayah Usaha Pos IV Jakarta mempunyai wewenang yang melekat pada fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengendalian strategi, dan kebijakan perusahaan di tingkat wilayah dan penanggung jawab seluruh unit pelaksana teknis (UPT) di wilayahnya.

"Akan tetapi, terdakwa menyalahgunakan wewenang, jabatan, dan kedudukannya itu dengan menerbitkan surat persetujuan pengeluaran biaya komisi, atau ia mengetahui terjadinya pengeluaran biaya komisi," kata JPU.

Jaksa penuntut umum menyebutkan dari 2003 sampai 2005 terdakwa bersama-sama dengan saksi-saksi--Rudi Atas Perbatas, Yosep Taufiq Hidayat, Her Chaerudin, Erinaldi, Muntafik, dan Fahrurrozi (yang penuntutannya dilakukan dalam waktu terpisah)--telah menyalahgunakan wewenang atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Jaksa menyatakan dengan surat persetujuan terdakwa Hana Suryana mengetahui adanya pencantuman biaya komisi dari para saksi itu dari Laporan Keuangan Pendapatan dan Biaya.

Jaksa menyatakan perbuatan terdakwa bertentangan dengan Pasal 31 Ayat (1) Keputusan Menteri BUMN tentang Penerapan Praktik Good Corporate Governance di BUMN dan Pasal 89 UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.

Di dalam UU itu menyebutkan bahwa anggota komisaris, dewan pengawas, direksi, karyawan BUMN dilarang memberikan atau menawarkan atau menerima, baik langsung maupun tidak langsung, sesuatu yang berharga kepada atau dari pelanggan atau seorang pejabat pemerintah untuk memengaruhi atau sebagai imbalan atas apa yang telah dilakukannya dan tindakan lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

"Bahwa pengeluaran biaya komisi tersebut menambah kekayaan para saksi dan terdakwa sendiri memperoleh manfaat, antara lain turut bermain golf pada waktu tidak dapat ditentukan lagi di Bogor dan di Bali," kata JPU.

Jaksa mengatakan akibat perbuatan terdakwa itu berakibat keluarnya uang dari kas PT Pos Indonesia, padahal seharusnya uang itu tidak keluar hingga merugikan perusahaan tersebut. (*)

(T.R021/D007/R009)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010