Purwokerto (ANTARA) - Keberhasilan penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia sangat bergantung pada perilaku masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan.

Di Tanah Air, pandemi sudah berlangsung sekitar 10 bulan, namun belum menunjukkan tanda-tanda kapan akan berakhir, sehingga pertanyaan yang sering muncul adalah kapan sebenarnya akan berakhir? Kapan puncak pandemi? Sementara beberapa negara lain sudah siap-siap untuk menghadapi serangan gelombang kedua bahkan ketiga pandemi COVID-19 ini.

Untuk dapat mengetahui kapan puncak pandemi COVID-19 dapat dilihat dengan membuat grafik diagram batang yang dibuat berdasarkan data kasus baru harian.

Secara spesifik hal tersebut dapat dikaji melalui kurva epidemi. Kurva epidemi adalah grafik yang menggambarkan jumlah kasus pandemi menurut tanggal onset penyakit atau tanggal timbulnya gejala penyakit.

Kurva epidemi sangat bermanfaat untuk mengetahui pola penyebaran penyakit, besar masalah penyakit, kasus yang ganjil, tren waktu, penyebab dan atau periode inkubasi.

Dalam konteks COVID-19 ini, maka kurva epidemi yang dipergunakan merupakan tipe kurva "epidemic propagated" yang dipergunakan untuk jenis penyakit yang menular dari orang ke orang.

Kendala dalam membuat kurva epidemi adalah adanya kesulitan menentukan tanggal timbulnya gejala dari setiap kasus, karena mungkin lupa atau kasus itu memang tanpa gejala.

Baca juga: Memupuk kesadaran masyarakat laksanakan hidup sehat di tengah pandemi

Jika kurva epidemi masih menunjukkan kenaikan menuju puncak karena adanya peningkatan kasus maka salah satu hal yang bisa dilakukan adalah menerapkan protokol kesehatan yang sangat ketat.

Semua pihak harus disiplin menjalankan protokol kesehatan agar dapat memutus rantai penularan di masyarakat. Pasalnya, untuk dapat menurunkan kurva dari puncak pandemi, sangat dibutuhkan kerjasama semua pihak termasuk masyarakat agar terus disiplin terhadap protokol kesehatan.

Masyarakat harus selalu ingat 3M yaitu memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan pakai sabun minimal 20 detik.

Selain itu, masyarakat juga harus menghindari tempat tertutup atau "closed setting", keramaian dan menghindari kontak erat. Selebihnya juga harus memperhatikan ventilasi, durasi dan jarak saat berada di dalam ruangan tertutup.

Tanpa peran seluruh lapisan masyarakat, maka pandemi sulit terkendali dan akan berlangsung lebih lama lagi. Masyarakat punya peran besar dalam rangka mempercepat pandemi COVID-19 ini untuk segera berakhir.

Seperti diketahui virus SARS CoV-2 sangat mudah menular dengan inhalasi yakni proses saat menghirup oksigen melalui hidung dan masuk ke paru-paru, baik melalui droplet atau cipratan liur yang dikeluarkan seseorang dari hidung atau mulut saat bersin, batuk, bahkan berbicara.

Selain itu juga melalui aerosol yakni partikel padat atau cair yang tertahan dalam partikel gas seperti udara serta melalui kontak langsung dan sentuhan benda-benda tercemar.

Baca juga: Polisi bubarkan warga yang nekat naik ke Jembatan Ampera

Karena itulah upaya memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan merupakan langkah yang sangat efektif dalam mencegah penyebaran COVID-19.

Sejak awal pandemi hingga saat ini banyak negara telah melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan COVID-19 termasuk di Indonesia. Upaya yang telah dilakukan meliputi pembuatan regulasi dan implementasinya, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Pembatasan Sosial Berskala Mikro dan Komunitas (PSBMK), disinfektasi, promosi pentingnya melakukan 3M, upaya meningkatkan kapasitas Testing, Tracing, Treatment dan Isolating (3T & I) dan yang terakhir upaya penyediaan vaksin.

Namun demikian upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah tersebut perlu didukung dengan penerapan 3M yang sangat ketat di tengah masyarakat, sehingga masyarakat harus ingat agar jangan pernah mengabaikan protokol kesehatan.

Baca juga: Protokol kesehatan yang mulai terabaikan

Karenanya upaya tanpa lelah untuk mengedukasi masyarakat dengan berbagai cara yang menarik dan masif dalam menginformasikan promosi kesehatan harus terus dilakukan.

Pendekatan humanis dan persuasif sangat diperlukan melalui pendekatan edukasi, kultur dan budaya setempat.

Jika pendekatan secara persuasif tersebut belum berhasil, maka perlu penegasan atau sikap tegas dengan menerapkan pendekatan hukum.
Karena untuk mengubah perilaku kadang diperlukan pemaksaan melalui hukum.

Namun perlu diingat bahwa perubahan perilaku yang langgeng atau bertahan lama itu jika didasari kesadaran dari diri yang bersangkutan sesuai dengan teori perilaku terencana.

Baca juga: Gubernur-Kapolda Bali pantau protokol kesehatan di destinasi wisata
Baca juga: Pandemi berakhir bila masyarakat disiplin terapkan protokol kesehatan

Sejauh ini upaya yang dilakukan oleh pemerintah sudah sangat tepat, yakni menggunakan pendekatan yang berbeda-beda pada setiap segmen masyarakat.

Karena itulah ada tim khusus yang dibentuk untuk menerjemahkan edukasi mengenai protokol kesehatan ke dalam bahasa daerah masing-masing, ada tim yang bertugas untuk memperhatikan kultur budaya setempat, mengajak tokoh masyarakat, tokoh agama dan lain sebagainya.

Kendati demikian memang masih terdapat berbagai tantangan untuk mengajak seluruh masyarakat disiplin menerapkan protokol kesehatan.

Karena itu pada masa mendatang sosialisasi dan edukasi harus tetap dan harus terus diberikan melalui berbagai "platform" agar sampai ke seluruh masyarakat.

Penegakan peraturan juga harus diterapkan secara konsisten, tegas dan secara simultan.

Yang juga tidak kalah penting adalah perlunya "role model" dari para pejabat, tokoh masyarakat, tokoh agama, "public figure" agar dapat menjadi contoh dan teladan dalam disiplin menggunakan masker sesuai standar dan protokol kesehatan lainnya.

*) dr. Yudhi Wibowo, M.PH adalah Ahli Epidemiologi Lapangan (Field Epidemiology) Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto.
 

Copyright © ANTARA 2021