Orang tua memberikan anak kental manis dengan alasan atas anak lebih suka minum kental manis dibandingkan dengan susu jenis lain
Jakarta (ANTARA) - Kebanyakan orang di Tanah Air tak takut sakit setelah memiliki kartu BPJS Kesehatan di dompetnya, sebab begitu ada keluhan kesehatan mereka bisa datang ke fasilitas kesehatan untuk berobat secara gratis.

Kondisi itu diperparah dengan salah kaprah mereka saat diminta menjaga kesehatan, sebab cara hidup sehat bagi mereka sebatas mengonsumsi vitamin yang dibeli di apotek dengan harga mahal.

Semakin mahal vitamin yang dikonsumsi dalam pikirannya semakin sehat pola hidup yang menurut mereka sudah dijalani.

Padahal hidup sehat merupakan pola kehidupan secara holistik meliputi pola makan yang baik dengan gizi seimbang, pola pikir yang positif, dan pola hidup antistres.

Hal itulah yang kemudian mendorong aktivis kesehatan dari Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) berupaya melanjutkan edukasi mengenai pola hidup sehat yang tak salah kaprah, khususnya terkait dengan gizi anak kepada masyarakat.

Pelaksanaan edukasi dengan melibatkan para mitra, termasuk Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (Kopmas), Muhammadyah, PP Muslimat NU, Himpaudi, serta komunitas ibu dan parenting yang menaruh perhatian besar terhadap kesehatan keluarga.

Perhatian tersebut perlu dioptimalkan mengingat pandemi COVID-19 menjadi faktor risiko yang bisa sangat berbahaya bagi masyarakat yang belum benar-benar paham tentang paradigma sehat yang sesungguhnya.

Edukasi pun diperlukan terutama di kawasan padat penduduk yang sebagian besar warga memiliki tingkat pendidikan yang masih rendah.

Baca juga: Saat pandemi COVID-29, UI beri edukasi layanan kesehatan mental

Satu kelurahan di Bekasi Timur, yakni Kelurahan Rawa Semut misalnya, menjadi target edukasi perdana edukasi komunitas pada 27 Januari 2021.

Edukasi dilakukan dalam bentuk penyuluhan langsung atau tatap muka dengan masyarakat, khususnya ibu yang memiliki balita dan kader posyandu.

Kegiatan edukasi dilaksanakan dengan jumlah peserta yang terbatas dan menerapkan protokol kesehatan untuk pencegahan COVID-19, di antaranya pengukuran suhu serta memastikan seluruh peserta memakai masker dan membersihkan tangan dengan penyanitasi tangan saat mengikuti kegiatan.

Sebagaimana diketahui, Rawa Semut merupakan salah satu kawasan padat penduduk di Bekasi. Berada di jantung kota Bekasi, sekitar 1,5 km dari terminal Bekasi Timur, akses dekat ke stasiun KRL Bekasi Timur serta pusat perbelanjaan Trans Park, menjadikan Rawa Semut sebagai kawasan pemukiman yang strategis.

Kawasan itu dipenuhi kontrakan dan tempat indekos karyawan berpadu di gang sempit, hingga pemandangan seperti itu tampak lumrah di kawasan setempat. Hal itu pun akhirnya menimbulkan persoalan baru, warga yang datang dan pergi dan administrasi penduduk yang tidak pasti.

Memengaruhi kesehatan

Pelaksana edukasi dari Kopmas untuk Rawa Semut, Marni R. mengatakan apabila administrasi kependudukan tidak pasti, hal itu akan turut memengaruhi kesehatan keluarga di wilayah setempat.

Sebab, dalam setiap program kesehatan untuk masyarakat, warga  yang disasar tentunya yang sudah terdata oleh RT/ RW.

Sebagai contoh, pemberian bantuan-bantuan sosial dari pemerintah, biasanya masyarakat penerima akan dimintakan KTP setempat ataupun pendataan oleh RT/RW.

Baca juga: Hidup sehat jangan berhenti meski pandemi berakhir nanti

Tapi sebagian besar masyarakat, apalagi di kawasan padat penduduk yang mayoritas adalah pendatang lebih sering mengabaikan soal administrasi kependudukan. Alhasil, yang seharusnya dibantu malah tidak mendapatkan haknya sama sekali.

Kendala pendataan masyarakat tersebut juga diakui Ibu Adam, pembina psyandu setempat.

Ia mengakui kegiatan posyandu di wilayah itu cukup aktif. Bahkan setelah ada pandemi pun kader-kader posyandu yang aktif melakukan kunjungan ke rumah-rumah warga, pemeriksaan tumbuh kembang anak, dan pemberian makanan tambahan apabila ditemukan anak kurang gizi.

Hanya saja memang karena banyak yang merupakan pendatang, pengontrak, dan tidak lapor, jadi tidak semua balita tumbuh kembangnya terpantau oleh kader.

Setelah sesi edukasi tatap muka, Tim Kopmas juga melakukan kunjungan ke beberapa rumah warga guna mengetahui bagaimana pemahaman masyarakat tentang gizi anak dan keluarga.

Melalui kegiatan sosialisasi dari pintu ke pintu itu, ditemukan masih banyak balita yang tidak mengikuti kegiatan di posyandu dengan alasan tidak tahu dan tidak terdata.

Mereka yang tinggal di rumah kontrakan, rata-rata bekerja sebagai buruh harian dan ibu rumah tangga dan hampir seluruhnya tidak ke posyandu.

Pengetahuan mereka tentang gizi anak juga rendah, terbiasa mengonsumsi makanan instan, dan tidak tahu apa yang baik dan tidak baik dikonsumsi oleh anak, terutama balita.

Dalam pelaksanaan edukasi di Rawa Semut, Kopmas mencatat masih ditemukan anak-anak dalam rentang usia 1-4 tahun mengonsumsi kental manis sebagai minuman 2-3 kali sehari.

Orang tua memberikan anak kental manis dengan alasan atas anak lebih suka minum kental manis dibandingkan dengan susu jenis lain.

Baca juga: Gending budaya hidup sehat terus dirajut

Bahkan, seorang ibu yang memiliki anak usia tiga tahun mengaku memberikan anak kental manis karena beranggapan susu jenis lain (susu bubuk dan susu UHT) memiliki pengawet.

Ironis

Fakta yang ironis banyak didapati ketika terjun ke masyarakat untuk melihat langsung penerapan pola hidup sehat mereka.

Protokol kesehatan layaknya jauh dari implementasi sebab menghindari COVID-19 cuma sebatas memakai masker. Di luar itu prasyarat kesehatan belum dianggap sebagai faktor yang penting bagi masyarakat.

Pemahaman yang keliru juga dikhawatirkan terjadi terkait dengan vaksinasi, ketika seseorang telah divaksin mereka dikhawatirkan akan beranggapan sudah kebal COVID-19 sehingga tidak menjaga protokol kesehatan. Padahal, penerapan protokol tetap diperlukan sebagai antisipasi mereka menjalani aktivitas sehari-hari di tengah pandemi ini.

Sayangnya memang hingga saat ini, masyarakat masih banyak termakan informasi sesat atau hoaks terkait dengan kesehatan, termasuk soal pandemi COVID-19.

Bahkan, Juru Bicara Pemerintah dr Reisa Brotoasmoro menyebut sudah ada ribuan hoaks yang beredar selama sembilan bulan pandemi di Indonesia. Bahkan, beberapa di antaranya terkait dengan vaksin COVID-19.

Ia pun mengajak masyarakat untuk tidak sesat pikir dan mengedepankan fungsi konfirmasi jika menerima informasi apapun terkait dengan kesehatan.

"Lebih baik mencerna informasi dengan baik, daripada panik atau bahkan menjadi penyebar hoaks," kata dia.

Sudah saatnya meluruskan paradigma yang keliru tentang kesehatan sebab sehat bukan semata tentang ketiadaan penyakit namun pemahaman seseorang atas kondisi tubuhnya dengan baik.

Sehat adalah bentuk syukur kepada Tuhan untuk terus menjaga kondisi tubuh dalam keadaan yang homeostatis alias seimbang sehingga terjaga kesehatan dan jauh dari sakit.

Baca juga: IAKMI: COVID-19 berakhir, PHBS tetap harus diterapkan
Baca juga: Kemenkes kolaborasi tanamkan PHBS pada anak sekolah dan santri
Baca juga: Tim Pakar Satgas COVID-19: Tetap terapkan PHBS setelah pandemi

Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2021