Jakarta (ANTARA News) - Indonesia sebagai negara rawan gempa perlu memiliki forum atau komite nasional gempa untuk meningkatkan sinergi antarahli dari beragam latar keilmuan dan institusi.

Wacana tersebut mengemuka dalam Diskusi Nasional Pakar Gempa bertajuk "Link and Match Dalam Usaha Pengkajian dan Mitigasi Bencana Gempa" di Jakarta, Kamis.

Diskusi yang dibuka Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana, Andi Arief, dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan bencana (BNPB) Mayjen (Purn) Syamsul Maarif itu melibatkan 25 pakar gempa dari perguruan tinggi, lembaga riset, maupun lembaga pemerintahan.

Beberapa ahli gempa ternama hadir dalam diskusi tersebut, seperti Dr. Danny Hilman (LIPI), Dr. Wahyu Triyoso (ITB), Prof. Dr. Dwikorita Karnawati (UGM), Dr. Sukhyar (Badan Geologi ESDM), Dr. Prih Haryadi (BMKG). Juga hadir pakar gempa dari Australia Prof. Dr. Phil Cummins dan Dr. Trevor Dhu.

Forum atau komite gempa bumi dimaksud juga diharapkan menjadi wadah penggodokan berbagai pandangan strategis mengenai mitigasi, adaptasi, dan antisipasi gempa sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam melakukan pengambilan kebijakan.

Menurut Andi Arief, riset dan pengembangan kajian gempa yang dilakukan berbagai akademisi maupun lembaga pemerintahan hingga saat ini masih belum terkoordinasi dengan baik.

Padahal, katanya, statistik menunjukkan intensitas terjadinya gempa di tanah air semakin tinggi.

"Pendirian forum atau komite gempa akan mampu menghilangkan sekat-sekat antarahli atau institusi, sehingga bisa dicapai sinergi bersama untuk hasil yang lebih maksimal," katanya.

Selain membicarakan minimnya sinergi antarpemangku kepentingan persoalan kegempaan, para pakar gempa juga membicarakan upaya mempromosikan mitigasi bencana, studi kegempaan di perguruan tinggi, serta komunikasi mengenai risiko kegempaan.

Terkait dengan pendidikan kegempaan di perguruan tinggi, wakil-wakil dari ITB dan LIPI mempresentasikan persiapan pendirian program pascasarjana kajian gempa bumi dan tektonik aktif.

Pendirian program ini dilatarbelakangi minimnya pengetahuan tentang sesar aktif dan kegempaan di Pulau Jawa dan Indonesia secara umum.

"Kita prihatin karena sedikit sekali peneliti dari perguruan tinggi atau lembaga penelitian yang melakukan riset dengan topik tersebut," kata Danny Hilman.

Minimnya riset kegempaan di Indonesia juga tak terlepas dari minimnya dukungan dana untuk program-program mitigasi bencana seperti riset.

Kepala BNPB Syamsul Maarif mengatakan, politik anggaran Indonesia saat ini memang masih menitikberatkan perhatian pada program-program pascabencana. Anggaran mitigasi bencana saat ini hanya senilai Rp15 miliar per tahun.

"Mitigasi bencana merupakan upaya untuk menghindarkan korban yang lebih besar sebelum bencana terjadi. Karena itu, perlu dicari cara agar perhatian terhadap mitigasi bencana mendapatkan porsi yang lebih memadai dalam APBN," katanya.(*)
(S024/R009)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010