Srinagar, India (ANTARA News/AFP) - Kelompok Pengawas Hak Asasi Manusia mendesak India mengadili para prajurit yang dituduh membunuh tiga warga sipil dalam bentrokan rekayasa di wilayah Kashmir yang disengketakan.

Militer India mengatakan, korban-korban itu adalah gerilyawan yang tewas ketika mereka menggagalkan upaya penyusupan militan di sepanjang Garis Pengawasan, perbatasan de fakto yang memisahkan Kashmir antara India dan Pakistan.

Namun, keluarga korban menyatakan bahwa mereka warga sipil tidak berdosa yang diculik oleh tentara tiga hari sebelum pertempuran yang direkayasa militer itu pada 30 April.

Militer mencopot seorang perwira dan memindahkan seorang lagi dari komandonya, sementara penyelidikan atas pembunuhan itu dilakukan.

"Jika militer memang serius menghukum mereka yang bertanggung jawab atas insiden terakhir ini, maka mereka akan menyerahkan para tersangka ke polisi untuk diadili di sebuah pengadilan sipil," kata Meenakshi Ganguly, seorang peneliti senior pada organisasi Pengawas Hak Asasi Manusia, Selasa larut malam.

"Mengingat buruknya catatan militer dalam pertanggungjawaban prajurit, tidak ada alasan untuk meyakini bahwa pengadilan militer bisa dipercaya untuk melakukan persidangan yang adi," katanya.

Wanita aktivis HAM itu menambahkan, pembunuhan ketiga warga sipil itu menggarisbawahi keadaan mendesak bagi pemerintah India untuk mencabut Undang-undang Wewenang Khusus Angkatan Bersenjata.

Undang-undang yang sangat ditentang oleh penduduk Kashmir itu memberi pasukan wewenang luas untuk menembak, menangkap dan mencari para tersangka.

Senin (7/6), Perdana Menteri Manmohan Singh mengatakan, pasukan India telah diperintahkan dengan tegas untuk menghormati hak asasi manusia di Kashmir.

Singh tiba di Srinagar, ibukota musim panas Kashmir India, dalam kunjungan dua hari untuk meninjau situasi keamanan dan proyek-proyek pembangunan. Ia juga mengadakan pertemuan dengan para politikus pro-India.

Separatis garis keras menyerukan pemogokan umum untuk memprotes kunjungan Singh itu, yang dilakukan di tengah meningkatnya ketegangan sejak pembunuhan ketiga muslim itu pada April oleh militer.

Kekerasan di Kashmir turun setelah India dan Pakistan meluncurkan proses perdamaian yang bergerak lambat untuk menyelesaikan masa depan wilayah tersebut.

Perbatasan de fakto memisahkan Kashmir antara India dan Pakistan, dua negara berkekuatan nuklir yang mengklaim secara keseluruhan wilayah itu.

Dua dari tiga perang antara kedua negara itu meletus karena masalah Kashmir, satu-satunya negara bagian yang berpenduduk mayoritas muslim di India yang penduduknya beragama Hindu.

Lebih dari 47.000 orang -- warga sipil, militan dan aparat keamanan -- tewas dalam pemberontakan muslim di Kashmir India sejak akhir 1980-an.

Pejuang Kashmir menginginkan kemerdekaan wilayah itu dari India atau penggabungannya dengan Pakistan yang penduduknya beragama Islam.

New Delhi menuduh Islamabad membantu dan melatih pejuang Kashmir India. Pakistan membantah tuduhan itu namun mengakui memberikan dukungan moral dan diplomatik bagi perjuangan rakyat Kashmir untuk menentukan nasib mereka sendiri.

Serangan-serangan pada 2008 di Mumbai, ibukota finansial dan hiburan India, telah memperburuk hubungan antara India dan Pakistan.

New Delhi menghentikan dialog dengan Islamabad yang dimulai pada 2004 setelah serangan-serangan Mumbai pada November 2008 yang menewaskan lebih dari 166 orang.

India menyatakan memiliki bukti bahwa "badan-badan resmi" di Pakistan terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan serangan-serangan itu -- tampaknya menunjuk pada badan intelijen dan militer Pakistan. Islamabad membantah tuduhan tersebut.

Sejumlah pejabat India menuduh serangan itu dilakukan oleh kelompok dukungan Pakistan, Lashkar-e-Taiba, yang memerangi kekuasaan India di Kashmir dan terkenal karena serangan terhadap parlemen India pada 2001. Namun, juru bicara Lashkar membantah terlibat dalam serangan tersebut.

India mengatakan bahwa seluruh 10 orang bersenjata yang melakukan serangan itu datang dari Pakistan. New Delhi telah memberi Islamabad daftar 20 tersangka teroris dan menuntut penangkapan serta ekstradisi mereka.(M014/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010